Banda Aceh, (ANTARA News) - Empat tahun silam, gempa bumi dan tsunami melanda wilayah Aceh dan peristiwa itu hingga kini masih membekas dalam benak warga provinsi ujung barat Indonesia tersebut.
Bencana alam dahsyat pada 26 Desember 20banyak 200 ribu penduduk meninggal dunia dan kini para syuhada tersebut bersemayam abadi di sejumlah kuburan massal.
Jumat, 26 Desember 2008, termasuk hari "bersejarah" bagi masyarakat khususnya keluarga korban. Warga berziarah di sejumlah kuburan massal seperti di Ulee Lhue (Banda Aceh), Lambaro dan Lampenerut (Aceh Besar).
Cara lain mengenang peristiwa itu, masyarakat menggelar doa bersama serta yasinan agar almarhum dan almarhumah diterima di tempat yang layak disisi Allah SWT.
Refleksi empat tahun tsunami, ratusan ribu masyarakat di Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Pidie dan Bireuen serta Lhokseumawe, menuju masjid dan mushalla untuk berzikir, tahlil dan yasinan.
"Kesedihan masih terasa di kalangan keluarga dan teman yang menghadap Illahi, tapi mengirim doa dengan harapan agar mendapat tempat layak disisi Allah SWT lebih baik," kata Imam Masjid Baiturrahim Lampoh Daya Tgk Yusri.
Namun, katanya, paling penting adalah meneruskan cita-cita para syuhada agar Aceh ke depan lebih baik, bermartabat dan tegaknya syariat Islam secara kaffah (menyuluruh) di tanah "Serambi Mekah ini.
"Saya ingat betul pesan para orangtua yang telah meninggal saat tsunami, yakni selalu berharap agar situasi Aceh tetap aman dan damai. Syariat Islam harus benar-benar membumi di daerah ini," tambahnya.
Menurut dia, Aceh pascatsunami memang sudah damai dan berbagai infrastruktur publik juga terbangun. Bahkan pembangunan fisik tersebut sudah sesuai harapan masyarakat.
"Hari ini, kita dapat menyaksikan rumah-rumah beton sudah terbangun, jalan teraspal dan ekonomi masyarakat juga membaik. Namun pembangunan nonfisik juga perlu dilaksanakan," ujar dia.
26 Desember 2004, tak kurang dari 800 km sepanjang garis pantai hancur total. Bangunan, tumbuhan, dan kehidupan di sepanjang garis pantai itu tersapu bersih.
Belum terbangun
Rizal (25), penduduk desa Lamjabat menyatakan meski tsunami berlalu empat tahun dan situasi Aceh secara umum sudah membaik, namun hingga kini dia belum mendapat rumah bantuan.
"Saya masih menampati bekas rumah yang dibangun orangtua, setelah kami merehab bahagian yang rusak akibat tsunami. Sementara rumah bantuan tidak ada," katanya.
Pengakuan yang sama juga diucapkan Evi (23), warga Lamdingin Kota Banda Aceh, menyatakan, sangat kecewa karena Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias belum membangun rumah bantuan baginya.
"Untuk mendapatkan rumah bantuan, kami sudah beberapa kali menyurati Kepala Desa dan pihak BRR, tapi hingga saat ini belum ada kepastian," katanya.
Data terbaru yang diperoleh dari BRR menyebutkan sebanyak 124.454 unit rumah baru terbangun selama 3,5 tahun terakhir di dua wilayah terparah diterjang tsunami tersebut.
Kepala Badan Pelaksana (Bapel) BRR Kuntoro Mangkusubroto mengakui, hingga saat ini masih ada sekitar 800 kepala keluarga (KK) korban tsunami masih tinggal di barak (rumah sementara).
"Mereka akan tetap mendapat rumah, karena sekarang ini sedang dibangun dan Januari 2009 diharapkan sudah selesai, termasuk rumah bantuan Arab Saudi," katanya.
Namun, Kuntoro mengatakan, tugas-tugas yang masih belum diselesai seperti pembangunan irigasi, jalan, jembatan, akan diselesaikan pada penghujung Maret 2009.
"Masih ada beberapa pekerjaan yang belum selesai, tetapi kita tidak akan meninggalkan pekerjaan yang belum selesai, di antaranya rumah," ujarnya.
Total anggaran APBN yang telah dipakai untuk rehabagilitasi dan rekonstruksi sudah mencapai Rp21 triliun sampai bulan Desember 2008. Dari dana APBN itu masih dilanjutkan Rp1,6 triliun pada 2009 akan ditangani Pemerintah Aceh.
Selama kurun waktu 3,5 tahun, BRR NAD-Nias juga telah membangun jalan sepanjang 3.005 kilometer, jembatan 266 unit, 954 unit puskesmas, rumah sakit dan poliklinik.
Pembangunan sebanyak 1.450 unit sekolah, 979 unit kantor pemerintah, 12 unit bandar udara, 20 unit pelabuhan laut, dan 103.273 hektar lahan pertanian.
Belum memuaskan
Kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menilai proses rekonstruksi dan rehabilitasi di Provinsi NAD belum memuaskan.
"Kami menilai proses membangun kembali Aceh belum menggembirakan, karena masih ada infrastruktur dasar yang belum selesai dikerjakan," kata juru bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) TAF Haikal.
Dicontohkan, pembangunan ruas jalan menghubungkan Kota Banda Aceh-Calang (Aceh Jaya) yang didanai Pemerintah Amerika Serikat (Usaid), hingga kini belum menunjukkan perkembangan seperti diharapkan.
Padahal, ruas jalan itu merupakan infrastruktur penting dalam upaya mendongkrak percepatan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan Aceh, khususnya pesisir barat dan selatan provinsi ujung paling barat Indonesia ini.
"Tapi, kita memaklumi bahwa banyak persoalan yang dihadapi dalam menyelesaikan pembangunan jalan tersebut," katanya.
TAF Haikal menyebutkan memang ada dua jalur lain dapat ditempuh untuk menghubungkan Banda Aceh dengan pesisir barat dan selatan Aceh, yakni dari Medan melalui Aceh Selatan, jalur Tengah lewat Geumpang (Pidie).
"Kondisi jalan sangat memprihatinkan. Jika kedua lintasan itu terputus misalnya akibat banjir dan tanah longsor maka berakibat pada melonjaknya harga kebutuhan pokok di pesisir barat dan selatan Aceh," kata dia.
Oleh karena itu, jalan lintasan Banda Aceh-Calang dan Meulaboh (Aceh Barat) mutlak harus menjadi prioritas diselesaikan guna memperlancar arus transportasi darat ke pesisir barat dan selatan Aceh.
Dia mengimbau Pemerintah Aceh serta BRR agar mengedepankan pemenuhan hak-hak korban, terutama dalam upaya mengatasi pengangguran yang diperkirakan terus melonjak di daerah ini.(*)
Oleh oleh : Azhari
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008