Solo (ANTARA News) - Massa yang tergabung dalam relawan Sriwedari (Resi) Solo, Jateng, mengakukan kirab "laku sirep dan bisu", dengan mengelilingi wilayah Sriwedari, Jumat malam, untuk tujuan mempertahan lahan Sriwedari agar tetap menjadi milik republik.
Mereka dengan berpakain kain serba putih dan memakai serban dengan "laku Sirep dan bisu" (menidurkan atau membuat manusia tidak ingat dan membisu, red) dan mulai kirab sekitar pukul 19.00 WIB, berjalan dari depan pintu masuk Sriwedari ke arah timur dan mengelilingi kawasan Sriwedari.
Koordinator aksi Resi, Rohman, mengatakan, kirab laku nyirep dan bisu ini, dalam rangka memperingati berdirinya Sriwedari ke-107 yang dulunya dikenal bernama "Bon Rojo" dengan bertujuan agar permasalah yang terjadi di Sriwedari antara ahli waris Sriwedari dengan Pemerintah Kota Surakarta selesai dan dilupakan.
"Sriwedari ini sudah merupakan milik republik harus dikembalikan ke negara atau republik. Sriwedari merupakan taman sarinya Nusantara dan Nusantara merupakan taman sarinya Dunia," kata Rohman.
Oleh karena itu, kedamaian sriwedari diharapkan akan membawa kedamaian Nusantara dan kedamaian Nusantara akan membawa kedamaian dunia sehingga dalam laku sirep dan bisu ini sebagai komunikasi secara metafisika untuk menyelamatkan Sriwedari.
"Kami melakukan kira laku sirep dan bisu ini melibatkan sekitar 50 Resi Solo," katanya.
Aksi para Resi yang mengenakan kain dan berserban serba putih sempat menjadi perhatian masyarakat Solo yang sedang melitasi Jalan Slamet Riyadi di depan Sriwedari.
Humas Para Resi Solo, Ruri mengatakan, tim pewaris Sriwedari yang dibentuk kembali memulai melakukan gerakan mencari keadilan dan hak kepastian hukum yuridis legal atas status tanah Sriwedari seluas 50 hektare.
Kendati demikian, secara sosio-kultrural Sriwedari telah menjadi bagian heritage habitatual keseharian adat budaya kawulodasih masyarakat Surakarta Hadiningrat.
Pertimbangan aspek sosio-kultural tidak ter-implementasikan ke dalam "Yuridiksi" ranah hukum, maka tak pelak pijakan ini tidak bisa ditapaki wali kota untuk bersikap dengan kuat. Sebab hukum merupakan panglima di negeri ini.
Hanya saja, kualitas keputusan hukumnya terkadang justru lepas dari makna kebenaran yang multi dimensional dan menfgandung kenisbian.
Oleh karena itu, perlunya diapresiasi kembali sejarah hukum ketatanegaraan dari sisi dan kisi-kisi Peralihan Kekuasaan Hukum Negara Republik Indonesia atas tanah-tanah tradisi, khususmya tentang peradilan dari swapraja ke Pemerintah Kota Surakarta.
"Kami para resi dengan kegiatan ini mengharapkan dan berdoa agar permasalah Sriwedari ini bisa lekas sirep atau selesai dengan baik tanpa meninggalkan bumerang sosio-kultural dimasa depan kota," katanya.
Usai melakukan kirap para Resi kemudian mereka melakukan doa bersama di depan pintu masuk Sriwedari untuk memohon keselamatan Sriwedari. Massa itu kemudian membubarkan diri dengan tertib.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008