Yogyakarta (ANTARA News) - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan calon anggota legislatif (caleg) dengan suara terbanyak justru memunculkan banyak permasalahan baru mulai dari kewenangan hingga prosentase keterwakilan perempuan sehingga cukup sulit untuk diterapkan. "Putusan MK ini dari sisi kewenagan apakah tidak kebablasan, apakah masalah ini tidak melampaui kewenagan yang dimiliki karena putusan tersebut tidak hanya sekedar membatalkan pasal 214 UU No.10/2008 tetapi telah menghasilkan produk hukum baru," kata pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, AAGN Ari Dwipayana MSi, Jumat. Ia mengatakan, apakah peran MK dalam konstitusi tidak sekedar negatif legislation tetapi juga positif legislation karena dengan putusan tersebut dapat dikatakan MK telah merambah DPR yang menghasilkan undang-undang dan keputusan untuk menentukan pilihan dalam penentuan caleg. "Dengan putusan tersebut maka peran DPR dalam legislasi dapat dimetahkan oleh MK, sehingga hasil kerja DPR dapat dibatalkan hanya oleh enam orang anggota MK," katanya. Menurut dia, putusan tersebut juga menyisakan masalah yakni bagaimana tindak lanjutnya atau kerangka legal bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memutuskan urutan suara terbanyak. "Bagaimana kalau ada dua atau tiga caleg yang memperoleh suara yang sama, ini tidak ada mekanismenya apakah harus ada perubahan UU sedangkan saat ini pelaksanaan pemilu sudah dekat sehingga harus berpacu dengan waktu, atau diserahkan ke masing-masing partai politik (parpol) untuk menentukannya," katanya. Lebih lanjut ia mengatakan, makanisme suara terbanyak ini juga akan memunculkan pertarungan caleg di tubuh parpol sendiri terutama yang sebelumnya menggunakan mekanisme nomor urut. "Keputusa MK ini akan memunculkan implikasi paling kuat justru di parpol, karena nanti sesama caleg dari satu parpol akan bertarung untuk bisa memperoleh suara terbanyak," katanya. Ia menambahkan, imlikasi yang tidak kalah pentingnya adalah keterwakilan perempuan dalam legislatif karena dengan mekanisme seperti ini sulit untuk mencapai 30 persen keterwakilan perempuan dalam parlemen. "Di satu sisi MK ingin konsisten dan menerapkan suara terbanyak agar tidak ada standar ganda, namun di sisi lain dengan putusan tersebut representasi keterwakilan perempuan akan sulit dicapai. Sebelumnya untuk mencapai ini ada perlakuan khusus bagi caleg perempuan yakni satu dari tiga caleg harus ada perempuannya, dengan putusan ini maka penentuan selang-seling tersebut tidak efektif," katanya.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008