"Saya marah kepada kerani. Saya katakan, saya muslim. Mana mungkin muslim haram," seru Baharuddin di kedai nasi padang kelolaan bersama istrinya dalam kompleks perumahan kaum marjinal kota, di Baloi Kebun, Batam, Kamis (25/12-08).
Beberapa perkebunan kelapa sawit di Selancar III (Pahang), Kota Tinggi dan Segamat dan perusahaan gudang di Pasir Putih (Johor Bahru) adalah tempatnya mencari ringgit selama 1984-1994, diselingi enam bulan mengumpulkan baht selaku buruh traktor sawah di Thailand.
Ia bekerja bertahun-tahun di negeri rantau hanya berbekal kartu penduduk Tanjungpinang, dan karenanya menjadi mangsa aparat Malaysia yang menangkapi pekerja asing tanpa izin atau pekerja asing degil (bandel).
Tahun 1996, Bahar, demikian ia biasa dipanggil, pulang kampung ke Tanjungpinang setelah merasakan betapa pedihnya dua cambukan rotan dan dua tahun penjara di Malaysia.
"Selepas dari penjara, saya masih ditahan satu tahun di Imigrasi Malaysia," kata Bahar yang setibanya di Batam membeli bangunan rumah di Baloi Kebun seharga Rp3 juta dan mengusahakan warung yang dimodali adik iparnya.
Menurut ayah dua anak itu, bekerja di Malaysia sangat mudah. Di sana, orang tidak ditanya ijazah ketika melamar ke pabrik atau perkebunan.
"Di Malaysia, yang terpenting adalah skill (keterampilan), bukan ijazah," ujar Bahar yang putus sekolah sejak kelas empat SD di Tanjungpinang, kota kelahirannya.
Selain sebagai operator fork lift, di negeri itu, Baharuddin pernah menjadi pengemudi truk gandeng. Keterampilan itu didapatnya dari teman-teman pekerja dari Indonesia.
Ketika melamar pekerjaan, Bahar hanya ditanya bisa apa, lalu diuji.
Untuk menjadi pengemudi truk gandeng, misalnya, ujian pertama adalah "Coba kamu start engine (hidupkan mesin)."
Kalau pelamar langsung memutar kunci kontak truk gandeng, dijamin lamarannya langsung ditolak. Seharusnya, ia memeriksa terlebih dulu keadaan minyak hitam (oli) dan mesin.
Lulus dari ujian pertama, pelamar harus menjalankan truk gandeng ke arah belakang kira-kira 50an meter. Harus bisa memundurkan kendaraan dengan lurus. Kalau mampu, pekerjaan baru sudah di tangan.
Lain di Malaysia, lain di negerinya. Lamarannya ke beberapa perusahaan di kota kelahirannya tak membuahkan hasil, hanya karena tak berijazah. Ia akhirnya hanya bisa menjadi pengojek.
Mulai 2005, Bahar bersama Ardiati, istrinya, hijrah, mengadu nasib di Kota Batam yang ternyata juga menuntut selembar ijazah kepada pelamar pekerjaan formal.
"Di sini pun sama. Waktu melamar yang ditanya adalah ijazah. Indonesia, negeri ijazah," keluh Bahar.
Ia lalu berandai-andai, jika saja ijazah bukan yang utama di negerinya, pastilah orang pandai mengemudi truk gandeng seperti dirinya atau teman-temannya yang terampil mengelas, yang mendapat pekerjaan. (*)
Oleh Oleh A Jo Seng Bie
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2008
mo salahin siapa?
coba de kita ngaca sama 2x
kalo mo pake teori, bisa ga kelar tujuh hari tujuh malam...
DIMANA PENGUSAHA BERKUASA, BUAT RAKYAT HIDUP ADALAH NERAKA...
jadi ya PeDe aja lagi pak, yang punya ijazah tp goblok2 banyak kok, tuh pada sembunyi dikantor2 pemerintah..