"Kalau kaitan dengan climate change mungkin-mungkin saja karena terjadi perubahan di ekosistem mereka sendiri. Bahwa pekerjaan manusia juga yang tadinya tidak merambah daerah-daerah hutan itu kita tidak terpapar hewan yang punya virus," kata spesialis mikrobiologi di RS Universitas Indonesia itu ketika ditemui dalam acara diskusi 2019 novel coronavirus (2019- nCoV) di Depok, Jawa Barat, Selasa.
Baca juga: Polda Kepri gelar penyuluhan terkait virus corona di Natuna
Kemungkinan zoonosis atau penyakit yang menular dari hewan ke manusia meningkat dengan semakin tingginya kontak manusia dengan hewan liar, seperti virus corona baru yang memiliki kesamaan dengan virus corona yang ada di kelelawar.
Beberapa outbreak terjadi dalam beberapa tahun terakhir seperti SARS, MERS dan yang baru-baru ini muncul adalah 2019-nCov dengan episenter wabah terjadi Wuhan, China.
Eksposur dan akses yang makin mudah juga berperan dengan semakin luasnya wabah virus yang terjadi, bahkan daerah terpencil pun kini bisa dijangkau dengan transportasi yang memadai.
Baca juga: Epidemik Corona lebih besar pengaruhi respon pasar emas berjangka
Faktor lingkungan juga bisa saja berpengaruh dengan bermutasinya virus corona baru yang biasa ditemukan di kelelawar hingga menginfeksi manusia, kata dr. Fera.
"Memang faktor lingkungan seperti sinar UV dan sebagainya bisa juga mempengaruhi materi genetiknya dan secara spontan bermutasi itu ada," kata dia.
Potensi muncul virus dan outbreak di Indonesia tetap ada tapi tergantung pada stabilitas virus yang berbeda satu dengan lainnya.
Baca juga: Tingkat fatalitas kasus virus corona di China mulai menurun
Baca juga: Kemenpar antisipasi penurunan kunjungan turis asal China
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2020