Brisbane, (ANTARA News) - Indonesia adalah pilihan terbaik bagi Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Barack Obama untuk menyampaikan pidato bersejarahnya tentang perbaikan hubungan AS dan dunia Islam karena modal sosial budaya, posisi strategis, dan sistim politiknya yang demokratis.

"Sangat tepat kalau Indonesia dijadikan tempat oleh Obama untuk mulai membangun citra damai itu karena Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia yang setara dengan jumlah penduduk muslim dari 14 negara Timur Tengah," kata Akademisi Muslim Indonesia di Universitas Queensland (UQ), Akhmad Muzakki.

Kepada ANTARA di Brisbane, Senin, dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya yang sedang merampungkan studi doktornya di UQ itu mengatakan, selain faktor penduduk, modal sosial budaya masyarakat Indonesia yang lebih bisa menerima perbedaan dan terbiasa dengan toleransi adalah kekuatan lain yang patut dipertimbangkan Obama.

"Dengan negara-negara yang memiliki modal sosial budaya seperti Indonesia ini, pemerintahan Barack Obama harus menjalin kerja sama yang baik. Indonesia juga merupakan negara demokratis terbesar ketiga di dunia. Posisi politiknya di dunia internasional, khususnya Asia, pun cukup disengani," katanya.

Lebih dari itu, seandainya Presiden Obama memilih Indonesia, tempat terbaik baginya untuk menyampaikan pidato bersejarahnya itu adalah Pulau Dewata, Bali. Dengan memilih Bali, masyarakat dunia pun bisa melihat agenda maupun tujuan penting kampanye Obama itu.

Masyarakat internasional dapat melihat betapa Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslimin turut menjadi korban dari praktik radikalisme oleh segelintir orang di Bali dan beberapa tempat lain di Indonesia.

"Korban terbanyak dari aksi radikalisme itu adalah juga Muslim, dan Bali tercatat dalam sejarah sebagai tempat yang dua kali mengalami aksi kekerasan (kelompok radikal)," katanya.

Di Bali yang berpenduduk mayoritas Hindu, Barack Obama bisa menyampaikan keinginan AS untuk melakukan rekonsiliasi dengan dunia Islam, kata Akhmad Muzakki.

Akhmad Muzakki mengatakan, terpuruknya citra AS di mata komunitas Muslim di banyak negara dan kemudian memicu sikap anti-Amerikanisme tidak dapat dilepaskan dari sepak-terjang pemerintahan dan sosok Presiden George W.Bush yang "cowboy".

Namun, pemerintah AS di masa Bush cenderung salah membaca sikap anti-Amerikanisme ini karena mereka yang bersikap anti dicap Amerika sebagai orang yang "mengalami radikalisasi dan ekstremisasi padahal mereka yang anti-Amerika tidak selalu mempunyai pemahaman ekstrimisme".

Sikap anti-Amerikanisme itu lebih dikarenakan tidak tahan dengan aksi dan sikap kesewenang-wenangan AS selama pemerintahan Bush.

"Kasus pelemperan sepasang sepatu terhadap Presiden Bush di Irak oleh wartawan baru-baru ini kembali menjadi bukti dan sepatutnya dibaca oleh Amerika sebagai penanda simbolik. Munculnya sikap anti-Amerikanisme itu bukan apa-apa kecuali disebabkan oleh sikap `cowboy`-nya Presiden Bush," katanya.

Dalam konteks inilah keinginan Presiden terpilih Barack Obama untuk memperbaiki hubungan AS dengan Dunia Islam sangat positif. "Hal pertama yang harus dimunculkan pemerintahan Obama adalah interaksi yang damai untuk mewujudkan ko-eksistensi damai antara Amerika dan non-Amerika, termasuk Dunia Islam."

"Sikap `cowboy`-nya Bush sebagai pemicu utama sikap anti-Amerikanisme ini harus diperhatikan Obama. Dan, Indonesia menjadi tempat penting bagi Obama untuk mulai membangun citra damai Amerika itu," katanya.(*)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008