"Artinya, dana mereka harus segera dikembalikan," kata Daruri di Jakarta, Senin.
Daruri berharap semua pihak DPR, BPK, kejaksaan agung, ombudsman, menggunakan kewenangannya untuk perlindungan nasabah dengan pendekatan bisnis yaitu mengembalikan uang nasabah secara terukur, obyektif, kredibel dan akurat dengan pendekatan bisnis.
"Nasabah lah yang hari ini dirugikan bukan negara dalam kasus Jiwasraya," paparnya.
Ia mengaku miris lantaran ada ada pihak yang mempunyai kewenangan, namun berakrobat politik atau hukum hanya untuk menunjukan superioritas lembaga, tanpa memperdulikan pemegang polis yang hari ini menunggu kepastian pembayaran.
Dikatakan, sistem keuangan non bank saat ini, masih jauh dari kokoh. Seiring dengan adanya beberapa kasus terakhir seperti Jiwasraya.
Berdasarkan Undang Undang No 29 tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK), ada klausul yang menyatakan bahwa lembaga jasa keuangan yang dianggap dapat memicu krisis keuangan adalah bank, dan bukan asuransi.
Logika dasarnya adalah bank memiliki ukuran aset, luas jaringan, kompleksitas transaksi dan keterkaitan yang lebih besar dengan sektor keuangan lainnya.
"Sementara itu berdasarkan akal sehat lembaga keuangan apakah bank ataupun non bank berpotensi memiliki ukuran aset, luas jaringan, kompleksitas transaksi dan keterkaitan yang secara relative besar dengan sektor keuangan lainnya," paparnya.
Selanjutnya Deni memaparkan ketika pemerintah Amerika Serikat (AS) mengambil alih perusahaan asuransi AIG, karena memiliki ukuran aset, luas jaringan, kompleksitas transaksi dan keterkaitan yang besar dengan industry keuangan. Kala itu, AIG dimiliki swasta dan diambilalih oleh negara.
Pengambilalihan itu memang tidak mulus lantaran ditentang banyak pihak. Alasannya, dianggap negara tidak boleh memiliki badan usaha milik negara, namun karena alasan yang kuat dari argumentasi ukuran aset, luas jaringan, kompleksitas transaksi dan keterkaitan yang sangat besar terhadap sektor perekonomian khususnya sektor keuangan maka langkah pengambilalihan tersebut juga disetujui parlemen.
Selanjutnya, papar Deni, pemerintah Amerika mengeluarkan dana yang sangat besar untuk mengambilalih AIG.
Belakangan, keputusan pemerintah AS ternyata tepat. Karena memberikan keuntungan yang signifikan. Untuk membail-out AIG, pemerintah AS menggelontorkan 182,3 miliar dolar AS, dan menjualnya 205 miliar dolar AS.
Artinya, ada keuntungan sebesar 22,7 miliar dolar AS. Di mana, dana bailout 182,3 miliar dolar AS itu berasal dari pemerintah AS dan bank sentral AS cabang New York, yang merupakan pinjaman. Dalam hal ini, pemerintah AS mendapatkan 79,9 persen saham AIG.
"Penting untuk dicatat, bahwa pinjaman diberikan oleh bank sentral. Pengalaman ini yang tidak dimiliki oleh Indonesia," ungkap Deni.
Terkait Jiwasraya, Deni mengusulkan pemerintah membentuk tim untuk mengevaluasi dampak sistemik dari kasus seperti Jiwasraya ini. Tentunya bukan ranah Komite Stabilitas Sistem Keungan (KSSK), karena tidak ada undang-undang yang mendukung KSSK melakukan bailout terhadap Jiwasraya.
Berdasarkan UU yang ada menutup mata bahwa kasus lembaga asuransi pasti tidak bersifat sistemik.
Untuk itu, ia menyarankan dibentuk sebuah tim yang sebaiknya dipimpin Meneg BUMN Erick Thohir dengan penasehat yang berkualitas dan berintegritas.
"Tujuannya bukan saja menyelamatkan Jiwasraya tetapi juga memastikan bahwa Jiwasraya tidak berpotensi menjadi krisis yang bersifat sistemik, selain juga untuk menjamin pemerintah Indonesia akan mendapatkan keuntungan jika nantinya dilakukan bailout," ungkapnya.
Belajar dari pengalaman AS membail-out AIG, kata dia, solusi bisnis harus lebih diutamakan. Kepada seluruh jajaran OJK tetap profesional karena sebagai regulator dan pengawas selamanya akan diserang dan dihujat.
"Tidak akan ada yang memuji hasilnya, walaupun IMF telah memuji OJK dalam laporan formal IMF 2019. Disebutkan bahwa sistem perbankan di bawah kendali OJK, terbukti telah dikapitalisasi dengan baik dan profitabilitasnya tinggi dengan pengembangan aset 2,5 persen, kondisi ini dipastikan tidak akan pernah meledak menjadi krisis," ungkap Deni.
Pewarta: Ganet Dirgantara
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2020