Jayapura (ANTARA News) - Ketua Umum Forum Cendekia Muslimah Peduli ICMI Sulawesi Selatan, Sutina Made, menilai PT Freeport Indonesia belum mensejahterakan rakyat Papua khususnya Mimika padahal kandungan emas, tembaga dan perak yang dibawa ke Amerika Serikat jauh lebih besar dari pembagian keuntungan yang diterima rakyat Papua.
Freeport sendiri sudah berada di Papua sejak April 1967 melalui kontrak karya pertama dengan Pemerintah Indonesia dan Desember 1967 memulai eksplorasi di Grasberg, sambung Sutina Made kepada ANTARA, Minggu.
Pada Konferensi Nasional Muslimah Nasional di Makasar minggu lalu, Sutina membeberkan secara rinci kandungan emas kelolaan Freeport dan kemiskinan rakyat Papua serta menawarkan solusi pengelolaan kekayaan sumber daya alam demi kesejahteraan rakyat daerah itu.
Data penduduk setempat memperlihatkan, 47,99 persen keluarga Papua dihimpit kemiskinan, sedangkan di Papua Barat proporsi penduduk miskin mencapai 36,85 persen yang kalau dijumlahkan penduduk miskin di dua provinsi itu mencapai 45,43 persen.
Data juga mengungkapkan, produksi emas di Grasberg mencapai 86,2 juta ons, 32,2 juta tembaga dan 154,9 juta ons perak, namun ironisnya Papua tergolong provinsi miskin dan mayoritas penduduk Mimika di mana Freeport beroperasi, hidup di bawah garis kemiskinan.
Pemerintah disebut kehilangan triliunan rupiah setiap tahun, padahal keuntungan bersih perusahaan itu pada 2002 mencapai Rp1,27 triliun, tahun 2003 naik menjadi Rp1,62 triliun, berikutnya melonjak menjadi Rp9,34 triliun.
Sutina mengungkapkan, AS menguasai 81,2 saham PT Freeport Indonesia, sedangkan pemerintah Indonesia hanya 9,4 persen dan walaupun kontrak Freeport habis pada 1997, kontrak karya diperbarui di mana Freeport mendapat lisensi baru selama 30 tahun berikutnya, ditambah opsi dua kali 10 tahun sehingga perusahaan itu berhak berada di Tembagapura hingga 2041.
"Para intelektual Indonesia khususnya cendekiawan Papua harus memberi solusi bagaimana sumber daya alam Papua dikelola secara adil," katanya.
Indonesia, demikian Sutina Made, telah memberi keuntungan lebih besar kepada pihak asing ketimbang rakyat Papua, khususnya warga yang bermukim di sekitar tambang.
Kini giliran intelektual Papua mengoptimalkan kemampuannya dalam menyelamatkan sumber daya alam Papua lewat promosi strategi managemen sumber daya alam yang lebih baik khususnya di areal tambang Freeport, dengan cara membangun sinergi antara pemerintah, perguruan tinggi dan masyarakat.
Dengan cara begitu, sumber daya alam akan dimasukkan dalam kategori kepemilikan publik yang pengelolaannya diserahkan pada Negara dan hasilnya dikembalikan sebesar-besarnya kepada rakyat, demikian Sutina Made. (*)
Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2008