Jakarta (ANTARA) - Tubuh ramping sejumlah damselfly terlihat bertengger cantik di tanaman air yang sengaja dibiarkan tumbuh rapat di salah satu kolam bagian Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Wetland Biocord yang dibangun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Desa Sukaluyu, Kecamatan Teluk Jambe Timur, Kabupaten Karawang, Jawa Barat.
Serangga berukuran imut yang dikenal dengan sebutan capung jarum tersebut menarik perhatian anak Perumnas yang pada Rabu siang (22/1) asyik bermain di sekitar IPAL yang dikembangkan sebagai bagian dari Ekoriparian Citarum-Karawang seluas 1,5 hektare (ha) di sekitar Sungai Cidadap di Teluk Jambe.
Tidak begitu lama sejak fasilitas pengolahan air limbah rumah tangga itu beroperasi di 2017 capung-capung jarum mulai berdatangan, kata Ketua Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Sahabat Lingkungan Hendro Wibowo yang mengelola ekoriparian tersebut kepada ANTARA.
Ekoriparian merupakan kawasan wisata di pinggir sungai dengan konsep edukasi lingkungan.
Tubuh capung jarum pra dewasa diketahui dapat menimbun racun dari mangsanya, sehingga bisa dijadikan indikator suatu perairan. Selain itu, serangga yang masuk anak bangsa Zygoptera itu bertindak sebagai pemangsa serangga yang berukuran lebih kecil, termasuk jentik-jentik nyamuk.
Dengan demikian, IPAL yang dibangun dengan dana sekitar Rp400 juta di Zona 1 Ekoriparian Citarum-Karawang di Teluk Betung tersebut telah berfungsi baik memperbaiki kualitas air limbah domestik seperti yang berasal dari kegiatan mandi dan cuci dari sekitar 400 Kepala Keluarga (KK) di perumahan tersebut.
Hendro menyebut 60 persen dana digunakan untuk pembangunan konstruksi, 20 persen untuk biocord, sisanya untuk operasional. Biocord dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama, dan dapat dicuci layaknya filter pada kolam ikan.
Substrat biocord dengan teknologi biofilm yang dipasang di dalam bak-bak pengolahan limbah IPAL berperan menghilangkan nutrisi secara biologis. Substrat ini juga memungkinkan lapisan simbiotik dari bakteri yang berbeda untuk berkembang, mencerminkan apa yang terjadi di alam.
Alhasil, air limbah rumah tangga yang baunya tercium menyengat tersebut kembali jernih dan tidak berbau. Saat akhir pekan biasanya kaum lelaki di perumahan itu menyambungkan selang ke air yang sudah melewati IPAL tersebut untuk mencuci kendaraan mereka yang kotor, ujar Hendro.
Ada dua IPAL lagi yang sebenarnya dikembangkan di Ekoriparian Citarum-Karawang tersebut, namun sayangnya baru satu saja yang sudah beroperasi. Jika seluruhnya telah beroperasi setidaknya dapat mengelola air limbah domestik dari 3.000 KK sebelum dialirkan ke Sungai Cidadap yang akan bermuara ke Sungai Citarum.
Lokasi Ekoriparian Citarum-Karawang di Teluk Jambe ini hanya sekitar 2,5 kilometer saja dari Sungai Citarum. Sayangnya saat ANTARA menyambangi muara dari Sungai Cidadap yang bermuara di Citarum, air sungai sudah bercampur lagi dengan limbah domestik dari permukiman yang berlokasi di antara ekoriparian dan Sungai Citarum.
Ikhtiar merawat sungai dengan konsep ekoriparian
Baca juga: Berbenah DAS menjauhi bencana
Baca juga: DAS-DAS merana rawan bencana
Atasi banjir
IPAL yang terbangun di sana berfungsi untuk menurunkan beban pencemaran yang masuk ke sungai sebenarnya merupakan bagian dari riparian yang dapat diartikan sebagai zona peralihan antara sungai dengan daratan. Karena itu disebut ekoriparian.
Wilayah riparian memiliki karakter yang khas, bercirikan ditumbuhi jenis-jenis tanaman hidrofilik yang beradaptasi dengan perairan. Jika di hulu sungai biasanya ditumbuhi semak belukar, perdu, dan pohon besar berbeda jenis, maka di wilayah lebih datar biasanya ditumbuhi pepohonan dengan tajuk bertaut membentuk kanopi di atas sungai yang tidak terlalu lebar.
Sementara di Ekoriparian Citarum-Karawang terlihat sejumlah rumpun bambu selain tanaman berakar tunjang yang diantaranya berupa semak belukar. KSM Sahabat Lingkungan juga memanfaatkan lahan tersebut untuk melakukan pembibitan berbagai jenis tanaman, mulai dari anggrek, bambu, jambu air, kayu putih, hingga tanaman empon-empon.
Ada pula tanaman Bisoro (Hibiscus tiliaceus), Kilayu, Benda, Kiserut dan Jalitri yang ditanam berjajar di sana.
Direktur Pengendalian Pencemaran Air Ditjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK Luckmi Purwandari mengatakan ekoriparian digunakan untuk menurunkan koefisien run off, menaikkan infiltrasi dan perkolasi, serta mencegah penyempitan dan pendangkalan sungai. Konsep tersebut diputuskan digunakan KLHK untuk merestorasi sungai guna meminimalisir banjir yang terjadi di Jabodetabek.
Alternatif lokasi untuk rencana restorasi sungai pascabanjir melalui implementasi ekoriparian 2020 akan dilakukan di DAS Ciliwung di Kota Bogor, Kabupaten Bogor dan Kota Depok. Lalu DAS Citarum di Kota Bandung, Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Bekasi.
Ada pula di DAS Cisadane yang terletak di Kota Bogor, Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang, selain juga Sungai Cidurian di Kabupaten Bogor dan Sungai Ciujung dan Sungai Ciberang di Kabuparen Lebak. Semua itu, menurut dia, akan cepat terlaksana jika lahan tersedia, karenanya butuh kerja sama dengan Pemerintah Daerah dan warga.
Luckmi mengatakan idealnya semua sempadan sungai diberi ekoriparian. “Di Jakarta ada di Srengseng Sawah sejak 2014. Tapi kemarin kena banjir semua.
Rencananya KLHK akan menambah ekoriparian di DKI Jakarta untuk upaya mengatasi banjir. Namun semua, menurut dia, tergantung dengan ketersediaan lokasinya.
Untuk mencegah banjir, Luckmi mengatakan tanaman yang dipilih untuk infiltrasi ataupun meresapkan air tanah, yang disesuaikan dengan karakteristik sungai.
Baca juga: Meminimalisir dampak bencana dengan peringatan dini
Baca juga: Mendamba "Deltawerken" humanis di Teluk Jakarta
Manfaat bagi warga
KLHK melibatkan komunitas untuk pengelolaan ekoriparian di Teluk Jambe. Hal tersebut juga demi keberlanjutan fasilitas itu sendiri, karena masyarakat tentu akan ikut merasa memiliki sehingga mau menjaganya dengan baik.
Aspek sosial ekonomi juga tentu menjadi pertimbangan agar fasilitas ekoriparian memberi manfaat pada masyarakat.
Komunitas Kelompok Swadaya Masyarakat Sahabat Lingkungan di Desa Sukaluyu, menurut Hendro, mampu mengantongi lebih dari Rp80 juta per bulan dengan mengelola Ekoriparian Teluk Jambe.
“Kita sekarang (mendapat) Rp80 juta sebulan, dari ini, sampah organiknya 2,5 ton per bulan. Kita jual Rp7000-an per kilogram,” kata Hendro.
Sedangkan penjualan sampah nonorganik yang digiling lalu dijual ke rekan usahanya. Ini masih dilakukan karena KSM Sahabat Lingkungan belum memiliki mesin giling sendiri.
Lalu pemasukan lainnya, kata Hendro, datang dari pelatihan-pelatihan tentang pengelolaan sampah, bank sampah maupun isu lingkungan lain yang diberikan komunitas pada warga dari lingkungan lain, pelajar maupun mahasiswa yang mendatangi ekoriparian di sana.
Saung yang sekaligus menjadi bank sampah di Ekoriparian Citarum-Karawang di Teluk Jambe tersebut memang kerap menjadi lokasi transfer pengetahuan. Termasuk seperti yang dilakukan sejumlah mahasiswa dan dosen Universitas Trisakti Jurusan Arsitektur Lanskap yang melakukan forum diskusi kelompok tentang konsep pemanfaatan lahan bantaran sungai dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat di sana saat ANTARA berkunjung.
Pemasukan lain berasal dari sayuran hidroponik yang dikelola para ibu dan menghasilkan sekitar Rp4,5 juta per bulan dengan menjualnya ke supermarket besar di Karawang.
Wilayah desa di mana Ekoriparian Citarum-Karawang Teluk Jambe berada, juga tercatat sebagai Kampung Iklim Utama yang telah aktif melakukan aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim secara terintegrasi sehingga dapat memberikan kontribusi terhadap upaya pengendalian perubahan iklim.*
Baca juga: Cara mereka "menolak" tenggelam
Baca juga: Satu garis hulu hilir bebas banjir
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020