Menurut Juru Bicara Deplu RI, Teuku Faizasyah, di Jakarta, Jumat, pusat pengendali krisis (crisis center) tersebut memantau nasib kesebelas awak melalui koordinasi dengan berbagai pihak, yaitu pemerintah Malaysia dan perusahaan pemilik kapal Malaysia, pemerintah Yaman dan Kenya.
"Crisis Center" telah memiliki data kesebelas ABK yang tengah disandera para perompak sejak 16 Desember kemarin.
Namun Faizasyah belum bersedia mengungkapkan keterangan lebih rinci mengenai identitas para ABK Indonesia.
Ia hanya menyebutkan bahwa kesebelas ABK berasal tersebut berasal dari pulau Jawa dan Sulawesi, dan rata-rata mereka kelahiran akhir tahun 1960 hingga 1980.
Informasi mengenai data-data para ABK, kata Faizasyah, diketahui dari pihak perusahaan pemilik kapal Malaysia yang dihubungi pihak kelompok bajak laut.
"Posisi prinsip kita adalah kita tidak berhubungan dengan pihak pembajak. Koordinasi kita lakukan dengan pemerintah dan pemilik kapal," tegas Faizasyah.
Hingga kini belum diketahui mengenai tuntutan mengenai tebusan yang diminta pihak perompak.
Dengan demikian, juga belum diketahui kapan para ABK bisa dibebaskan oleh para perompak.
Yang pasti, kata Faizasyah yang mengutip keterangan pihak pemilik kapal, kesebelas ABK Indonesia berada dalam keadaan sehat.
"Mudah-mudahan mereka (11 ABK Indonesia, red) diasuransikan oleh perusahaan pemilik kapal," kata Jubir.
Sebelas warga Indonesia yang merupakan anak buah kapal (ABK) Malaysia disandera oleh kelompok perompak yang membajak kapal tersebut di lepas pantai Yaman pada Selasa (16/12)
Kelompok perompak yang ditengarai berasal dari Somalia itu membajak sebuah kapal penarik milik Malaysia yang memperkerjakan para awak Indonesia serta sebuah kapal kargo Turki.
Kapal penarik yang mempekerjakan ABK warga Indonesia diketahui milik Mas Indra Shipping Malaysian Sendirian Berhard yang berkedudukan di Port Klang.
Ketika perompakan terjadi, kapal tersebut disewa oleh Muhibah Berhard untuk Total, perusahaan Perancis.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008