Yogyakarta (ANTARA News) - Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang cukup ampuh untuk mengatasi krisis ekonomi global yang juga melanda Indonesia karena kebijakan moneter yang selama ini telah ditempuh tidak mampu menggerakkan kembali perekonomian. Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Anwar Nasution mengatakan hal tersebut, dalam diskusi mengenai krisis keuangan global di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Jumat. "Kebijakan fiskal bisa diharapkan untuk mengatasi krisis, tetapi kemampuan negara masih terbatas apalagi dengan sistem yang masih amburadul," katanya. Tujuan utama diterapkannya kebijakan fiskal adalah mencegah terjadinya kontraksi ekonomi yang lebih dalam dan mengurangi beban kelompok masyarakat miskin, yang dapat dilakukan dengan menciptakan proyek pembangunan yang cepat memiliki dampak menggerakkan perekonomian nasional. "Selain itu, memberikan bantuan kepada kelompok pengusaha kecil dan menengah sehingga memberi efek berantai terutama meningkatkan penggunaan produk dalam negeri," ujarnya. Menurut Anwar, kebijakan fiskal hanya merupakan kebijakan temporer yang bersifat sementara dan tidak dapat digunakan sebagai kebijakan permanen karena akan mengganggu perekonomian secara keseluruhan. Keampuhan kebijakan fiskal pun tergantung dari berbagai faktor seperti besarnya nilai stimulus, waktu dan juga sasaran yang dituju serta diperlukan koordinasi antarnegara untuk bisa menjalankannya. "Negara yang mampu mengintrodusir stimulus fiskal adalah negara yang neraca berjalannya surplus dan memiliki cadangan luar negeri yang besar. Hanya Jerman dan China yang memiliki syarat itu," ujar Anwar. Sementara itu, ekonom dari Universitas Islam Indonesia (UII), Eddy Suandi Hamid menyatakan masyarakat Indonesia belum memiliki "sense of crisis" yang kuat sehingga selalu beranggapan bahwa krisis ekonomi global tersebut akan cepat berlalu. "Negara-negara lain sudah melakukan berbagai strategi untuk mengatasi krisis, bahkan dari masyarakatnya, seperti mencari tahu toko-toko yang meggelar diskon atau mengubah menu makanan," ujarnya. Kondisi perekonomian Indonesia yang menerapkan pasar terbuka dengan derajat keterbukaan mencapai 51 persen, lanjut Eddy, juga perlu menjadi pertimbangan karena sekecil apapun gejolak ekonomi di luar negeri akan berpengaruh besar di Indonesia. Sedangkan, ekonom dari UGM, Sri Adiningsih menegaskan perlunya kejujuran dari pemerintah sehingga mampu memetakan masalah dengan objektif didukung kemampuan mengelola risiko yang baik. "Pemerintah dituntut jujur dalam menyajikan data dan informasi kepada masyarakat karena jika data yang dianut dalam mengambil keputusan sudah tidak benar maka keputusan yang diambil pun akan menjadi salah," tegasnya.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008