Jakarta (ANTARA) - Presiden Asosiasi Alumni Michigan State University (MSU) di Indonesia Satya Hangga Yudha meminta pemerintah memprioritaskan penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) untuk mencapai target 100 persen rasio elektrifikasi.
Menurut dia, dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu, populasi Indonesia terus meningkat yang otomatis akan meningkatkan permintaan energi.
Di sisi lain, energi adalah sektor terbesar kedua yang berkontribusi terhadap kenaikan emisi gas rumah kaca.
Dengan demikian, menjadi penting untuk menurunkan penggunaan energi konvensional yakni minyak, gas, dan batubara, dan segera beralih ke EBT.
"Meningkatkan penggunaan EBT juga dapat menurunkan defisit neraca perdagangan kita," kata Hangga saat menjadi pembicara dalam diskusi "The 1st Michigan State University (MSU) Alumni Association in Indonesia Talkshow on Indonesia’s Energy Sector (Past, Present, and Future)".
Hadir pula sebagai pembicara mantan Dirjen PDASHL Kementerian LHK Ida Bagus Putera Parthama, mantan Direktur PDASHL Kementerian LHK Silver Hutabarat, Anggota Badan Tenaga Nukllir Nasional (Batan) Topan Setiadipura, dan Peneliti IESR Melina Gabriella dengan moderator mantan Kepala B2TKE BPPT Lolo M Panggabean.
Menurut Hangga, saat ini, sebanyak 88 persen sumber listrik masih berasal dari energi konvensional dan hanya 12 persen EBT.
Di sisi lain, cadangan energi konvensional makin menipis, sementara sumber EBT masih besar.
Potensi energi panas bumi Indonesia tercatat mencapai 25,8 GW, air 75 GW, surya 207,8 GW, angin 60,6 GW, laut 60,6 GW, dan bioenergi 32,6 GW.
"Untuk energi nuklir yang telah ditetapkan sebagai opsi terakhir sesuai dengan PP Nomor 79 Tahun 2014 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), harus bisa diubah menjadi viable option," ujarnya.
Ida Bagus Putera Parthama mengatakan masa depan energi Indonesia akan cerah asal ada political will dan kebijakan yang meningkatkan pemanfaatan EBT khususnya biomassa.
Menurut dia, Indonesia bisa menjadi "Timur-Tengahnya" energi biomassa.
"Pengembangan energi biomassa membawa banyak benefit seperti rehabilitasi lahan kritis, mencegah kelangkaan air, menyerap lapangan kerja dan menciptakan peluang bisnis di pedesaan," katanya.
Sedangkan, Silver Hutabarat mengatakan peningkatan kebutuhan pangan, energi, dan air akan memberi tekanan terhadap daerah aliran sungai (DAS) dan hutan.
"Bioenergi sangat memungkinkan untuk dikembangkan di areal hutan yang terdegradasi, sehingga selain memberikan manfaat ekonomi, juga merehabilitasi hutan dan memberi dampak positif terhadap DAS," katanya.
Hangga juga mengatakan sesuai PP 79/2014, target bauran EBT telah ditetapkan sebesar 23 persen pada 2025 dan 31 persen pada 2050.
Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi Perjanjian Paris sesuai dengan Undang Undang Nomor 16 Tahun 2016 dengan komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada 2030 atau 41 persen dengan bantuan internasional.
"Ke depan, Indonesia diharapkan dapat mencapai 100 persen rasio elektrifikasi dengan mayoritas berasal dari EBT," ujar Hangga Yudha.
Pewarta: Kelik Dewanto
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020