NEW YORK (Reuters) - Harga minyak mentah di Amerika Serikat turun tajam 9 persen menjadi 36 dolar AS per barel (sekitar Rp3.375 per liter) setelah permintaan minyak merosot dan membumbungnya stok barang di AS (karena kurang pembeli) mendorong OPEC memangkas tajam pagu produksi.

Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), Kamis, sepakat menurunkan output minyak mentah mereka menjadi 2,2 juta barel per hari mulai Januari nanti untuk mengerek lagi harga minyak yang jatuh dari level tertingginya di atas 147 dolar AS per barel Juli kemarin.

"Menanggapi keputusan OPEC menurunkan produksinya dengan agresif, para pelaku pasar malah melihat pemangkasan itu sebagai indikasi permintaan minyak mentah global bakal terus merendah," kata Chris Jarvis, analis senior pada Caprock Risk Management.

Kontrak pengiriman minyak mentah untuk Januari di AS telah dipatok turun 3,84 dolar AS menjadi 36,22 dolar AS per barel setelah sempat menyentuh di level lebih rendah 35,98 dolar AS per barel, sementara harga minyak patokan Brent di London dikunci turun 2,17 dolar AS pada 43,36 dolar AS per barel.

Dewan Energi Internasional (IEA) mengungkapkan bahwa prediksi pasar mengenai jatuhnya permintaan minyak dunia ini tidak bisa langsung berhenti karena pasar mengikuti berlanjutnya krisis ekonomi global.

"Harga minyak tidak akan naik lagi karena pasar telah memperkirakan angka (penurunan pagu produksi minyak OPEC). (Masalahnya), perekonomian global semakin memburuk keadaannya sehingga pasar lebih meresponnya (ketimbang sinyal penurunan produksi OPEC)," kata Direktur Eksekutif IEA Nobuo Tanaka kepada Reuters.

Pasar tenaga kerja AS yang terhuyung-huyung minggu lalu hanya menunjukkan sinyal kemajuan kecil dan berlanjut lesunya sektor manufaktur telah menenggelamkan harapan bahwa buruh-buruh yang dipecat bisa bekerja kembali di pabrik-pabrik AS yang sedang berjuang mempertahankan hidup itu.

Harga saham di bursa AS pada perdagangan Kamis anjlok setelah Standard & Poor's mengingatkan bahwa turunnya pringkat utang General Electric dan jatuhnya harga minyak bakal menghantam harga saham perusahaan-perusahaan sektor energi.

Prospek ekonomi tahun depan semakin muram setelah data-data ekonomi menunjukkan bahwa satu resesi global yang parah memang sedang terjadi dan menyebabkan permintaan minyak jatuh di mana-mana, dari AS sampai China.

Deutsche Bank memperkirakan bahwa permintaan energi dunia bakal turun 1,2 persen di sepanjang tahun 2009 dan perhitungan ini lebih pesimistis ketimbang prediksi Biro Statistik Energi AS (USEIA).

JPMorgan juga telah merevisi prediksi permintaan minyak dunia untuk tahun 2009 dari sebelumnya 69 dolar AS menjadi 43 dolar AS per barel menyusul pemangkasan produksi yang ditempuh OPEC.

Para analis di sini bahkan memperkirakan penurunan lebih tajam lagi akan diambil OPEC sampai pada tingkat suplai ideal sesuai dengan keadaan pasar atau sisi permintaan normal kembali.

Data deskriptif barang dari USEIA yang dirilis Rabu menunjukkan cadangan minyak AS di Cushing, Oklahoma yang menjadi acuan penting bagi kontrak minyak global di bursa energi AS (New York Mercantile Exchange), menggunung hingga 4,7 juta barel sampai pekan lalu.

EIA mengatakan, total permintaan minyak mentah dari konsumen-konsumen top dunia anjlok hingga 4,9 persen dalam empat pekan terakhir.

Konsumen minyak mentah nomor dua dunia, China, mengumumkan bakal menurunkan harga BBM domestiknya Jumat ini atau untuk pertamakalinya dalam hampir dua tahun terakhir. Langkah ini ditempuh untuk menstabilkan sistem harga energi di sana, disamping untuk menggenjot kembali perekonomian.

Pemerintah China, sebut para analis, kemungkinan bakal menurunkan harga bensin sebesar 13 persen dan 17 persen untuk solar demi menstimulasi kembali permintaan BBM dari pasar lokal. (*)

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2008