Surabaya (ANTARA News) - Berdasarkan survai Surabaya Survey Centre (SSC) dan Sudono Syueb Institute (SSI), pelaku korupsi paling banyak di Indonesia adalah eksekutif di pemerintahan.
Dari tujuh pelaku korupsi, eksekutif menempati urutan pertama sebanyak 35,40 persen, lembaga keuangan 26,20 persen, legislatif 16,90 persen, yudikatif 12,30 persen, lembaga negara independen 4,60 persen, tentara 3,10 persen dan polisi 1,50 persen.
"53,80 persen koruptor masih menjabat dan 46,20 persen dilakukan mantan pejabat. Sementara itu 69,20 persen dana korupsi mengalir ke pengusaha dan swasta," kata Direktur SSC Mochtar W. Utomo didampingi pimpinan Sudono Syueb Institute (SSI), Sudono Syueb, Rabu.
Metode penelitian yang dilakukan SSC didasarkan pada analisis isi berita-berita korupsi harian Kompas selama Oktober 2008, dengan total sampling 65 "sample" berita, sementara teknik pengumpulan data memakai pola "editing", "coding" dan tabulasi.
Menurut dosen Universitas Trunojoyo tersebut, survei Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) dan ICW telah menempatkan legislatif sebagai institusi paling korup berdasarkan survai publik, sementara publik tahu informasi tersebut dari media massa.
Karena itu, SSC langsung mensurvai ke media massa dengan menggunakan salah satu media nasional.
Mochtar mengungkapkan, eksekutif yang mendominasi berita korupsi adalah mantan Bupati Nganjuk, mantan Bupati Banyuwangi, Bupati Situbondo, mantan Bupati Jember, Pemprov Riau, Pemprov Sumsel, Pemprov Sumut dan Pemprov DKI Jakarta.
Berdasarkan asal lokasi kasus, maka DKI Jakarta menempati urutan teratas dengan 55,40 persen, luar negeri 10,70 persen, Kepulauan Riau, Sumsel dan Banten masing-masing nilainya 6,20 persen.
Sedangkan berdasarkan status hukum, saksi sebanyak 10,80 persen, terpidana 4,60 persen, tersangka sebanyak 33,80 persen dan terdakwa sebanyak 26,20 persen, terduga 24,60 persen,
Untuk konteks kasus, gratifikasi menempati posisi tertinggi 60,00 persen, penyelewengan untuk kepentingan pribadi 29,20 persen, pungli 6,20 persen, pemerasan 3,10 persen dan penyelewengan untuk pihak lain 1,50 persen.
"DPRD banyak melakukan gratifikasi karena bukan penguasa anggaran. Anggota dewan banyak menerima pemberian," katanya.
Terkait nilai uang yang dikorupsi, Mochtar mengatakan 43,10 persen sebanyak Rp20 miliar, 27,70 persen kurang dari Rp1 miliar, 15,40 persen antara Rp1 miliar hingga Rp5 miliar, 6,20 persen antara Rp6 hingga Rp10 miliar dan 1,50 persen antara Rp16 miliar hingga Rp1,50 miliar. (*)
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2008