Jakarta (ANTARA) - Pada pekan pertama Desember 2019, ditemukan keretakan di tanggul laut yang terletak di kawasan Muara Baru, sehingga beberapa bagian dinding tanggul merembes. Ada pula yang terkikis atau mengalami erosi.
Berdasarkan informasi, tanggul laut sepanjang kurang-lebih 100 meter yang berfungsi menghalau ombak itu roboh ke arah laut. Akibatnya, air laut masuk dan menggenangi urukan tanah yang ada di belakang tanggul tersebut.
Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane (BBWSCC) mengatakan, robohnya tanggul laut National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) di titik tertentu disebabkan naiknya permukaan air laut serta cuaca hujan. Pembangunannya sendiri tidak dihentikan.
"Itu karena muka air laut naik, lalu cuaca hujan, ya karena itu. Tapi pembangunan tetap berlangsung," kata Ketua BBWSCC Bambang Hidayah saat dikonfirmasi ketika itu.
Lebih lanjut Bambang mengatakan, karena tanggul itu masih dalam proses pembangunan, perbaikan tanggul yang roboh itu menjadi tanggung jawab kontraktor yang membangunnya.
Mengenai kondisi tanggul, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di Jakarta, Kamis (5/12), mengatakan tanggul itu sedang diperbaiki Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Anies mengatakan, Pemprov DKI Jakarta hanya memantau perbaikan tanggul karena tanggul tersebut dikelola PUPR, dan pihaknya siap memberikan bantuan apa pun yang dibutuhkan Kementerian PUPR.
Tanggul laut yang diperbaiki itu merupakan proyek pembangunan pengaman pantai tahap 3 paket 2 oleh satuan kerja non-vertikal tertentu (SNVT) pembangunan terpadu pesisir ibu kota negara (PTPIN).
Pengamat tata kota Yayat Supriatna menilai proyek NCICD di kawasan pesisir Jakarta harus dilanjutkan dalam rangka menanggulangi banjir rob agar tidak menahan aktivitas ekonomi masyarakat setempat.
Yayat mengemukakan, proyek NCICD mencakup pembangunan tanggul raksasa di bagian utara Teluk Jakarta sebagai cara untuk melindungi wilayah pesisir dari ancaman banjir rob.
Menurut dia, tanggul laut menjadi keharusan karena mengerem air tanah susah dilakukan, dan pengambilan air tanah terus-menerus berdampak pada penurunan tanah.
Ia berpendapat, pemerintah pusat dan DKI Jakarta harus bersinergi untuk melanjutkan pembangunan tanggul laut fase A yang pengerjaannya telah ditinggalkan pengembang akibat terhentinya proyek reklamasi.
Lebih humanis
Mengenai pembangunan NCICD, sejumlah pihak menegaskan proses pembangunannya harus betul-betul memastikan jaminan akses bagi nelayan tradisional kawasan pesisir untuk dapat melaut.
"(Pengembangan NCICD) perlu tetap dilanjutkan. Cuma karena di sana ada fasilitas PPI (Pangkalan Pendaratan Ikan) Muara Angke dan PPS (Pelabuhan Perikanan Samudera) Muara Baru, maka akses nelayan dan kapal keluar masuk ke pelabuhan perikanan harus tetap ada dan dijamin serta tidak dipersulit," kata pengamat kebijakan kemaritiman nasional, Moh Abdi Suhufan ketika dihubungi ANTARA.
Menurut dia, selain akses bagi nelayan, keberadaan ekosistem mangrove atau hutan bakau juga mesti dipertahankan. Jangan sampai, lanjutnya, pembangunan proyek NCICD ini ke depannya justru menghilangkan ekosistem bakau yang sudah ada.
Selain itu, ujar Abdi, yang menjabat Ketua Harian Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (Iskindo), perlu pula dipastikan desain proyek tersebut konsisten dan tidak berubah-ubah.
Pengamat sektor kelautan dan perikanan Abdul Halim mengingatkan bahayanya pembangunan properti di kawasan pesisir hingga ke tepi sungai di berbagai titik di wilayah DKI Jakarta yang sebenarnya efektif sebagai daerah resapan air ibu kota.
Abdul Halim menyatakan, hal itu juga terkait dengan adanya perbedaan antara solusi terkait banjir di Belanda dan Indonesia sehubungan pengelolaan wilayah pesisir masing-masing.
"Penataan kota di Belanda disesuaikan dengan pengelolaan daerah aliran airnya, sementara Jakarta dan daerah pendukungnya, yaitu Bodetabek, justru membangun kota dengan melakukan perubahan terhadap daerah aliran airnya," katanya.
Belanda memiliki Deltawerken, yang merupakan proyek konstruksi 13 tanggul raksasa dan bendungan besar untuk melindungi banyak kawasan Belanda dari meluapnya Laut Utara.
Baca juga: Nasib Tanggul Laut Raksasa Jakarta penahan banjir
Hingga kini, Belanda tidak pernah lagi mengalami tragedi banjir besar seperti pada tahun 1953. Oosterscheldekering yang merupakan tanggul terbesar Deltawerken, bahkan dinobatkan oleh American Society of Civil Engineers sebagai salah satu dari Tujuh Keajaiban di Dunia Modern.
Abdul Halim yang menjabat sebagai Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan menyatakan, kerap ada wilayah pesisir yang direklamasi untuk kepentingan properti, dan hulunya dibangun vila atau perumahan.
“Daerah tangkapan/resapan air di Jakarta sudah berubah menjadi hutan beton yang dialokasikan untuk keperluan pembangunan perumahan, mal, hotel, pabrik," kata Abdul Halim.
Baca juga: Pengembangan tanggul laut Jakarta diminta jauhi kepentingan properti
Ia menegaskan, hal strategis yang perlu dilakukan adalah melindungi daerah tangkapan/resapan air yang masih tersisa agar tidak dialihfungsikan, serta mengembalikan fungsi daerah aliran sungai dari hulu ke hilir sebagaimana mestinya.
Untuk itu, Abdul Halim juga menginginkan Pemerintah Pusat tidak mengembangkan wacana pembangunan NCICD yang sarat kepentingan properti, serta mendesak pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Jakarta yang ramah secara ekologis dan berorientasi humanis.
Baca juga: Indonesia-Belanda perkuat sinergi tanggul laut Jakarta
Dengan adanya pengelolaan NCICD yang lebih melibatkan pengelolaan masyarakat yang hidup di tepi pantai, tidak mustahil pada masa depan Tanggul Laut Raksasa yang bisa mengamankan Kota Jakarta dari tenggelam benar-benar terwujud, seperti yang telah dilakukan Belanda dengan Deltawerken mereka.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020