Semarang (ANTARA) - Sejumlah titik rawan Pilkada Serentak 2020 harus diwaspadai. Hal ini mengingat pengalaman sejarah Pilpres 2019 banyak muncul kerawanan yang berpotensi disintegrasi bangsa.
Potensi titik rawan pada persiapan, pelaksanaan, dan pasca-Pilkada 2020 perlu deteksi dini dengan harapan asas pemilu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil bisa tercapai. Pada gilirannya proses pilkada berjalan dengan baik dan menghasilkan kepala daerah yang diharapkan.
Paling tidak ada tujuh faktor yang bisa memengaruhi kualitas pilkada karena potensi menimbulkan titik kerawanan yang bisa muncul dan mencederai proses pilkada itu sendiri.
Ketujuh potensi yang bisa menimbulkan titik kerawanan adalah dana, regulasi, penyelenggara, peserta, daftar pemilih tetap, proses sejak persiapan, pelaksanaan, dan pascapelaksanaan, serta pihak-pihak terkait (stakeholders).
Pada pokok bahasan tulisan ini menganalisis kerawanan pilkada serentak dari aspek pendanaan. Kenapa aspek dana bisa menjadi salah satu titik kerawanan? Karena aspek dana atau pembiayaan banyak variabelnya. Misalnya, sumber dana berasal dari APBD, dari peserta kontestasi, bantuan pihak ketiga yang mendanai dengan harapan memperoleh imbalan di kemudian hari, juga potensi untuk memanfaatkan dana dalam politik uang.
Berdasarkan regulasi, sumber dana pilkada dibiayai dari masing-masing APBD daerahnya. Hal ini sesuai dengan Permendagri Nomor 54 Tahun 2019 tentang Pendanaan Kegiatan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang bersumber dari APBD.
Walau bersumber dari APBD, masih terus menjadi polemik yang berkepanjangan oleh masing-masing pemangku kepentingan dari sudut pandang subjektif sesuai dengan kepentingan masing-masing.
Bawaslu lewat anggotanya, Mochamad Afifuddin, menegaskan bahwa setidaknya ada empat hambatan dalam pengawasan pilkada serentak. Hambatan yang dihadapi bawaslu, baik provinsi maupun kabupaten/kota dalam melakukan pembahasan dana hibah dengan pemda, muncul permasalahan administrasi, peraturan perundang-undangan, ketersediaan anggaran daerah, dan masih banyak faktor lain.
Bawaslu berpendapat bahwa permasalahan administrasi untuk penganggaran pengawasan pilkada ada dua masalah dari pemda. Pertama, syarat surat persetujuan bupati atau wali kota. Kedua, penandatanganan naskah hibah perjanjian daerah (NPHD). Hal ini tidak mudah karena memasuki proses ranah politik.
Untuk permasalahan regulasi, ada tiga persoalan penghambat penandatangan NPHD. Pertama, pemda masih menunggu Kemendagri yang menegaskan dan menjelaskan rujukkannya Permendagri 54/2019. Kedua, pemda menghendaki pencantuman standar pembiayaan pengawasan menggunakan standar biaya masing-masih daerah lantaran berasal dari APBD, bukan APBN.
Ketiga, pemda menunggu keputusan KPU dalam menetapkan jumlah TPS di masing-masing provinsi dan kabupaten/kota. Masalah lain terkait dengan ketersediaan anggaran pemda, ada daerah yang mengalokasikan anggaran pengawasan tidak sesuai dengan usulan yang diajukan bawaslu, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Pertimbangan pemda, yakni kemampuan anggaran atau pendapatan daerah yang berbeda-beda.
Biaya via APBN
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) memberikan rekomendasi standardisasi anggaran pemilihan kepala daerah melalui APBN. Standardisasi anggaran pilkada, apalagi dengan sistem serentak, bisa menghasilkan efisiensi tanpa menghilangkan pemilu demokratis.
Fitra menilai standardisasi dari APBD ke APBN dinilai dapat menghilangkan risiko tumpang-tindih biaya anggaran. Hal itu juga dianggap dapat mengurangi biaya-biaya yang selama ini terjadi pemborosan oleh penyelenggara.
Menurut Fitra, apabila tetap menggunakan APBD, harus dibuat suatu dana cadangan, minimal 2 tahun sebelum pemilihan kepala daerah dilakukan di kabupaten/kota sehingga anggaran tidak terkuras untuk belanja pemilu. Harapannya anggaran pemilu dapat ditekan melalui pemilu serentak. Dari hasil penghitungan, pemilu serentak dapat mengurangi beban anggaran sebesar 50 persen.
Usul anggaran pilkada dari APBN juga diutarakan KPU. Mereka berasumsi lebih efektif. Salah satu pertimbangannya, seperti ditegaskan oleh anggota KPU RI Pramono Ubaid bahwa penandatangan NPHD untuk anggaran pilkada memang kerap molor dari waktu yang ditentukan. Hal itu dinilai karena anggaran pilkada masih bergantung pada APBD.
Molornya ini dari sudut pandang KPU sangat mengganggu karena akan merusak tahapan yang sudah ditetapkan dan tidak boleh bergeser sehari pun. Untuk mengatasinya, KPU mengusulkan agar anggaran pilkada bersumber dari APBN. Dengan begitu, anggarannya dapat diputuskan di tingkat pusat sehingga tidak ada lagi penguluran waktu.
Sejak lama KPU mengusulkan untuk menyelesaikan persoalan sumber dana pilkada berasal dari APBN. Dengan demikian, biayanya sudah langsung dipatok dari tingkat pusat dan dengan sekali ketok palu seluruh daerah teratasi. Tidak ada lagi daerah-daerah yang molor mundur. Itu jauh lebih efektif bahkan bisa lebih efisien.
Selain lebih efektif dan bisa lebih efisien, soal standar biayanya pasti akan sama. Meskipun ada daerah-daerah tertentu ada kekhususan karakteristik tersendiri, standar nasional bisa menjadi patokan. Keuntungannya, soal honor, soal jumlah kegiatan, dan lain-lain itu bisa terstandardisasi dengan baik. Ini bisa sedikit banyak meredam konflik di daerah, terutama yang berdekatan.
Keuntungan lain, ketika sumber biaya dari APBN, tiap daerah juga akan mengalami pemerataan anggaran. Biaya kegiatan hingga honor dari petugas penyelenggara pemilu juga lebih terstruktur. Namun, usulan ini tampaknya belum dapat direalisasikan pada Pilkada 2020 karena tidak ada undang-undang yang mengatur masalah tersebut. Ke depan perlu dipikirkan agar usulan sumber biaya pilkada masuk dalam UU Pilkada.
Pada pilkada serentak tahun ini akan diselenggarakan di 270 kepala daerah, terdiri atas 9 provinsi, 37 kota, dan 224 kabupaten, atau lebih banyak daripada pilkada serentak, 27 Juni 2018, tercatat 171 daerah, terdiri atas 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten.
Direktur Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini memperkirakan Pilkada 2020 secara tidak langsung bakal memunculkan 270 kendala dalam realisasi anggarannya. Hal ini dikarenakan NPHD untuk anggaran pilkada bersumber dari APBD.
Berdasar pengalaman, penyebab utama kenapa problem ini selalu berulang. Penganggaran pilkada bersumber dari APBD sehingga tidak ada kebijakan satu pintu dalam penganggaran.
Bandingkan dengan penyelenggaraan pemilu legislatif dan presiden yang anggarannya bersumber dari APBN serta melalui kendali satu pintu, KPU RI. Pencairan dana hibah tersebut, bisa jadi sangat kental politik, atau bergantung pada kondisi politik lokal daerah setempat karena ada tiga pihak yang terlibat, yakni pemda, DPRD, dan penyelenggara, terdiri atas KPU dan bawaslu daerah.
Kemauan Politik
Kemauan politik lokal memang diperlukan manakala menyusun anggaran untuk kepentingan pilkada. Aktor penyusun anggaran terdiri atas kepala daerah, DPRD dan penyelenggara pilkada (KPU dan bawaslu daerah). Ada sinyalemen, bisa benar bisa tidak, ketika petahana maju lagi anggaran yang disediakan nisbi longgar. Sebaliknya, apabila petahana sudah tidak maju lagi, ada kecenderungan anggarannya nisbi mepet.
Kemauan politik lokal memang diperlukan manakala menyusun anggaran untuk kepentingan pilkada. Aktor penyusun anggaran pilkada terdiri atas kepala daerah, DPRD, dan penyelenggara pilkada (KPU dan bawaslu daerah). Ada sinyalemen, bisa benar bisa tidak, ketika petahana maju lagi anggaran yang disediakan nisbi longgar. Sebaliknya, apabila petahana sudah tidak maju lagi, ada kecenderungan anggarannya nisbi mepet.
Memang besaran anggaran ditentukan oleh kekuatan dan kemampuan keuangan daerah. Namun, tidak tertutup kemungkinanan politik anggaran juga berpengaruh. Maksudnya, ada yang daerahnya mampu namun kemamuan politik daerah tidak berpihak. Hal ini bisa memengaruhi besarannya walaupun memiliki kemampuam dan kekuatan. Sebaliknya, kemampuan terbatas tetapi kemauan politik menganggarkan nisbi berkecukupan.
Kerawanan pada aspek dana juga bisa muncul dari peserta. Ada sinyalemen didanai oleh pihak ketiga dengan konsekuensi menjadi beban di kemudian hari. Di samping itu, politik uang selalu mewarnai dan sulit diberantas.
Karena pembiayaan berasal dari APBD masing-masing daerah ada kerawanan antardaerah yang berbatasan. Misalnya, wilayah Solo Raya yang terdiri atas tujuh daerah, satu kota dan enam kabupaten. Hanya Karanganyar yang tidak menyelenggarakan pilkada.
Kerawanan yang muncul ketika honor penyelenggara di tingkat TPS, PPS, atau PPK tidak sama besaran nominal bisa jadi masalah. Boyolali, Klaten, Wonogiri, Sukoharjo, Solo dan Sragen secara geografis bersinggungan dan secara sosiologis karakteristiknya hampir sama. Apa jadinya ketika sama-sama tugas tetapi honornya berbeda karena sumbernya juga berbeda.
Problem klasik yang selalu muncul, seringnya jumlah yang dianggarkan pemda tak memenuhi usulan penyelenggara (KPU dan bawaslu daerah). Problem ini yang sering jadi pemicu utama, selain memang nisbi pemerintah terlambat dalam konsolidasi isu tersebut. Ini risiko dan konsekuensi dimana pilkada sebagai rezim pemda.
Naluri birokrasi, perlu konsolidasi. Dalam hal ini mestinya pemerintah sejak awal menyadari pada tahun 2020 akan dilaksanakan pilkada. Harapannya pihak-pihak yang memiliki otoritas seharusnya mengambil langkah untuk memastikan kesiapan daerah-daerah penyelenggara.
Sumber-sumber sosial dan politiknya tidak hanya untuk pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan kohesi, integrasi, dan kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, kemampuan suatu negara mencapai tujuan negara sangat tergantung pada kualitas tata kepemerintahan. Dalam hal ini, pemerintah melakukan interaksi dengan sektor swasta dan masyarakat (Thoha; 2000, 12).
Penulis mengambil sampling di Jateng yang akan menyelenggarakan Pilkada Serentak 2020 dengan jumlah 21 daerah terdiri atas empat wali kota dan wakil wali kota serta 17 bupati dan wakil bupati. Di Jateng, dana sebanyak Rp687,938 miliar, terdiri atas 21 daerah.
Kota Semarang anggaran paling tinggi sebesar Rp71,953 miliar, disusul Pemalang Rp50,227 miliar, Purworejo Rp47,521 miliar, Klaten Rp46,313 miliar, Kebumen Rp41,893 miliar, Kabupaten Semarang Rp40,933 miliar, Wonosobo Rp40,772 miliar, dan Grobogan 37,246 miliar.
Berikutnya, Kendal Rp35,989 miliar, Kabupetan Pekalongan Rp30,283 miliar, Purbalingga Rp30,302 miliar, Wonogiri Rp29,233 miliar, Demak Rp29,006 miliar, Boyolali Rp28,157 miliar, Blora Rp25 miliar, Sragen Rp24,438 miliar, Sukoharjo Rp23,138 miliar, Rembang Rp21,250 miliar, Kota Surakarta Rp15 miliar, Kota Pekalongan Rp12 miliar, dan Kota Magelang Rp7,277 miliar.
*) Drs. Pudjo Rahayu Risan, M.Si., Magister Administrasi Publik Undip, dosen tidak tetap STIE BPD dan STIE Semarang.
Copyright © ANTARA 2020