Sigi, Sulawesi Tengah (ANTARA) - Masyarakat adat di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, meminta pihak Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) untuk melegalkan pengelolaan sumber daya alam berupa hutan secara adat untuk masyarakat di daerah tersebut.
"Kawasan Taman Nasional Lore Lindu berfungsi sebagai penyangga kehidupan, dikelola dengan sistem zonasi yang telah di-overlay dan disinkronkan dengan sistem ruang kelola hutan secara adat. Untuk ruang pemanfaatan di kawasan TNLL yang telah berlangsung secara turun temurun telah diakomodir dalam zona tradisional. Maka, masyarakat adat, pemangkuan hutan adat harus berkomitmen untuk mengelola hutan memanfaatkan potensi sumber daya hutan dengan tetap menjamin kelestariannya," ucap salah satu aktivis agraria dan lingkungan Sulteng, Eva Bande di Sigi, Rabu.
Eva Bande mengemukakan masyarakat adat di Kabupaten Sigi telah berkumpul dan membahas haknya dalam mengelola hutan di wilayah TNLL dalam lokakarya (workshop) hutan adat dengan tema “Penguatan praktik perlindungan dan pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat adat di dalam dan sekitar kawasan Taman Nasional Lore Lindu" yang digelar di Desa Tomado, Kecamatan Lindu, Kabupaten Sigi Senin 27/1.
Gugus tugas reforma agraria (GTRA) Kabupaten Sigi yang merupakan penyelenggara lokakarya tersebut, melibatkan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Balai Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL) dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sigi untuk membahas hak masyarakat adat terhadap hutan adat.
Baca juga: Pemerintah diharapkan dukung masyarakat adat untuk jaga hutan
Baca juga: Suku pribumi Brazil tentang langkah Bolsonaro rusak hutan Amazon
Baca juga: Hutan Adat, sebuah warisan untuk generasi mendatang
"Workshop yang mempertemukan berbagai pihak ini menjadi momentum yang di tunggu oleh semua pihak baik di nasional dan di Provinsi Sulawesi Tengah khususnya, yang telah memperjuangkan upaya pengakuan wilayah adat, reforma agraria dan pengelolaan bersama kawasan konservasi untuk duduk bersama dan berbagi pembelajaran mengenai advokasi, praktik baik dan upaya lanjutan yang bisa disepakati bersama," kata Eva yang juga panitia penyelenggara lokakarya tersebut.
Ia menguraikan terdapat tiga muatan penting dalam kegiatan itu pertama musyawarah adat (Molibu Bete) yakni prosesi adat untuk melakukan kodifikasi aturan adat yang dilakukan oleh lembaga adat untuk memperkuat aturan dan praktik pengelolaan dan perlindungan sumberdaya daya alam oleh Masyarakat Adat.
Kedua, percepatan pengakuan hak masyarakat adat di Sigi. Sejak tahun 2017, Pemerintah Kabupaten Sigi melaksanakan program reforma agraria terintegrasi dengan sistem perencanaan pembangunan daerah yang tertuang dalam RPJMD dan RKPD, maupun yang dibuat secara terpisah dan dikerjakan secara terpadu melalui peran GTRA.
"Melalui GTRA ini telah teridentifikasi dan diusulkan tiga skema penting dalam mewujudkan pemerataan ekonomi, menyelesaikan ketimpangan agraria dan pendayagunaan sumber-sumber agraria, yaitu redistribusi tanah, perhutanan sosial dan pengakuan hak masyarakat adat dan hutan adat," katanya.
Ketiga, komitmen untuk mendorong kolaborasi dalam pengelolaan kawasan TNLL bersama masyarakat adat di dalam dan sekitar TNLL. Ia menjelaskan Badan Registrasi Wilayah Adat mencatat pada peta wilayah adat seluas 10,56 juta ha (hektare) lahan hutan adat, terdapat kawasan hutan konservasi seluas 1.867.610,15 ha. Total kawasan hutan di wilayah adat mencapai 7.764.126,95 ha.
"Dari identifikasi peta indikatif AKKM (Areal Konservasi Kelola Masyarakat) yang dilakukan oleh WGII (Working Group ICCAs Indonesia), bahwa banyak praktik konservasi tradisional dilakukan di wilayah adat dimana masyarakat menjadi pemangku dari praktik konservasi tersebut," ujar dia.*
Baca juga: Dedi Mulyadi: Pengelolaan hutan oleh masyarakat adat adalah keharusan
Baca juga: Masyarakat adat protes ke Dinas Kehutanan Papua
Baca juga: 1.645 ha Hutan Adat di Kalimantan diserahkan pemerintah
Pewarta: Muhammad Hajiji
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020