Jakarta (ANTARA) - Permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak diterima Mahkamah Konstitusi karena kerugian pemohon dinilai tidak spesifik.

Pemohon yang merupakan advokat bernama Martinus Butarbutar dan Risof Mario mendalilkan UU KPK adalah praktik penyelenggaraan negara kekuasaan yang mengancam setiap pribadi rakyat Indonesia.

"Mahkamah tidak dapat memahami kerugian konstitusional apa yang sebenarnya diderita oleh para pemohon dengan keberlakuan Pasal 37C ayat (2) UU KPK," ujar Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam sidang pembacaan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu.

Mahkamah Konstitusi menilai pemohon sebagai warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai advokat tidak menjelaskan dengan detail kerugian konstitusional yang diderita dengan berlakunya Pasal 37C ayat (2) UU KPK.

Sebab itu, Arief Hidayat mengatakan tidak nampak adanya hubungan sebab akibat dari keberlakuan Pasal 37C ayat (2) UU KPK dengan kerugian yang diderita oleh pemohon.

Dalam menerangkan kerugian hak konstitusionalnya, pemohon hanya bersandar pada ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang mengatur konsep negara hukum.

"Menurut Mahkamah ketentuan dimaksud bukanlah merupakan alas untuk menyatakan kerugian hak konstitusional," kata Arief Hidayat.

Dengan begitu, pemohon dinilai tidak memenuhi syarat kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan.

Ada pun pada 2019, UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi diujikan sebanyak sembilan kali. Satu di antaranya sebelumnya telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi tidak dapat diterima.

Baca juga: Dewas: Revisi UU KPK bertujuan melemahkan

Baca juga: UU KPK baru, Anita Wahid: Perlu kolaborasi gerakan berantas korupsi

Baca juga: DPR bantah ada penyelundupan hukum dalam revisi UU KPK

Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2020