Palu (ANTARA News) - Semua industri kayu hitam (eboni) di Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) terancam tutup, menyusul kesulitan mereka mendapatkan bahan baku untuk menggerakkan kegiatan usaha.
"Di unit produksi perusahaan yang saya pimpin saja sudah delapan bulan terakhir tidak lagi normal beroperasi, karena kesulitan mendapatkan bahan baku," kata Direktur PT Leang Yang, Syafei Datupalinge, kepada ANTARA News di Palu, Senin.
PT Leang Yang yang lokasi industrinya berada di Kecamatan Palu Utara itu merupakan produsen sekaligus eksportir produk eboni terbesar di Sulteng. Perusahaan ini, sebelum mengalami krisis bahan baku, mampu memenuhi order konsumennya di Jepang dan Taiwan berupa meubel utuh dari eboni dan dalam bentuk "knock down completely" (KDC) sedikitnya dua kontainer setiap bulan.
Tapi sejak April 2008, permintaan ekspor yang bisa ditutupi perusahaan ini tidak lagi menentu dan bahkan hanya satu kontainer dalam kurun waktu dua bulan.
Menurut Datupalinge, penyebab utama perusahaan yang dipimpinnya terancam tutup, dikarenakan tidak ada lagi institusi penampung eboni hasil tebangan lama yang dapat menyuplai bahan baku ke semua industri yang ada.
PD Sulteng yang merupakan satu-satunya perusahaan pemegang hak dalam menampung sisa-sisa tebangan lama eboni di hutan bekas lokasi kegiatan perusahaan HPH yang kemudian diakumulasi oleh masyarakat setempat, tidak bisa lagi menyuplai bahan baku ke sektor industri yang ada sebab kewenangan dimilikinya telah dicabut gubernur.
"Saya sulit memahami mengapa pemerintah daerah kurang memberikan perhatian terhadap perkembangan industri eboni. Baru tanggal 7 November 2008 mengeluarkan izin perpanjangan kewenangan PD Sulteng untuk menampung eboni sisa tebangan lama, tapi 13 hari kemudian dicabut lagi," tuturnya mempertanyakan.
Paling merisaukan, lanjut Datupalinge, yaitu setiap tamu-tamu penting dari dalam dan luar negeri berkunjung ke Palu, para pejabat setempat selalu menggiring mereka mendatangi lingkungan industrinya untuk menyaksikan salah satu produk ciri khas Provinsi Sulteng yang sering diekspor ke mancanegara.
Ia mengkhawatirkan dengan tidak adanya lagi campur tangan Pemprov dan DPRD Sulteng dalam persoalan eboni serta terus meningkatnya aktivitas penyulundupan kayu termahal di dunia itu ke Negara Bagian Sabah, Malaysia, dapat mengakibatkan banyak orang kehilangan pendapatan.
"Pokoknya bila tidak ada lagi pemasok bahan baku, dapat dipastikan semua perusahaan yang memproduksi produk eboni ekspor serta industri kerajinan rakyat akan tutup. Ini berarti pemerintah daerah siap-siap mencarikan sumber sandaran hidup baru bagi ribuan tenaga kerja yang terkena PHK, istri, beserta anak dan keluarganya," tutur Datupalinge.
Menanggapi kondisi industri eboni di daerahnya yang terancam gulung tikar dan dapat memicu pengangguran massal, anggota Komisi Ekonomi dan Keuangan DPRD Sulteng Drs HM Ali Pusadan mengatakan pihaknya bukan mengesampingkan masalah ini, namun yang selalu dipersoalkan oleh lembaga legislatif setempat yaitu mengenai pemberian hak monopoli kepada PD Sulteng dalam mengakumulasi eboni hasil tebangan lama.
"Sekalipun perusahaan daerah, tapi sangat tidak profesional jika PD Sulteng hanya melakukan bisnis `menjual surat` dan kemudian menarik berbagai macam setoran dari perusahaan industri eboni yang membeli bahan baku dari masyarakat pengumpul, sebagaimana yang dipraktekkan selama ini," kata dia.
Pusadan menyarankan agar Gubernur Sulteng segera melakukan pengaturan tata-niaga eboni hasil tebangan lama, dengan memberikan kewenangan kepada semua industri yang ada untuk membeli langsung bahan baku dari masyarakat, agar kegiatan usaha mereka tidak gulung tikar.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008