Jakarta (ANTARA News) - Film Indonesia yang saat ini meningkat dari segi jumlah dan kualitas akan semakin baik perkembangannya di masa mendatang apabila para sineas muda diberikan kesempatan seluasnya untuk menciptakan karya-karya yang bermutu.
"Saya optimis melihat generasi muda di perfilman Indonesia saat ini, mereka punya kebebasan dalam menciptakan karya. Hal ini sangat berbeda dengan apa yang saya alami dulu ketika soal judul dan tema film masih disetir oleh Departemen Penerangan," kata aktor senior Ikranegara usai mengikuti acara diskusi tentang "Industri film di Indonesia dan persaingan usaha perfilman nasional" di Jakarta, Senin.
Pemeran Pak Guru Harfa dalam film "Laskar Pelangi" ini mengungkapkan pada tahun 1970an para sienas membuat karya dengan beban dan tekanan dari pemerintah. Ada ketakutan yang dirasakan si pembuat film karena akan dilarang tayang atau dipotong pada beberapa adegan tertentu yang dianggap merugikan pemerintah.
"Ada salah satu film yang saya bintangi sebagai mahasiswa yang vokal melakukan demonstrasi di film `Bandot Tua`, tapi karena film itu dilarang tayang dan boleh ditayangkan dengan sebagian besar cerita dipotong dan diganti judulnya menjadi `Cinta Biru` (1977, red)," katanya.
Ikra mengatakan masa depan perfilman Indonesia ada di tangan generasi muda saat ini dan mereka harus didukung untuk bisa menghasilkan karya-karya yang berkualitas. Ia mencontohkan karya-karya Hanung Bramantyo, Garin Nugroho, dan Nan T Achnas.
Sementara itu, salah satu pembicara dalam diskusi tersebut, sutradara film Hanung Bramantyo mengatakan sutradara saat ini menghadapi persoalan yang berbeda dengan masa lalu. Sutradara menghadapi kendala karena produser selalu menanyakan tentang siapa pasar film yang disasar dan apakah ada jaminan film itu akan sukses atau tidak.
"Di Indonesia sutradara harus ikut menentukan kelahiran film ini di masyarakat, ikut berpikir soal penayangan dan estetika, padahal tugas sutradara harusnya hanya berpikir soal skenario film sampai film itu ditayangkan," katanya.
Ia menambahkan film yang diminati sebagian produser bukan yang sinematografi dan temanya bagus, tapi ditanya soal pasar filmnya dan apakah ada jaminan film itu akan sukses.
"Ketika saya sodorkan film agak berat tentang Gerwani pada produser yang mereka tanyakan bukan soal bagaimana kira-kira gambaran film ini nantinya, tapi mereka tanyakan siapa yang akan menonton dan berapa estimasi jumlah penontonnya, dan pertanyaan ini membuat saya berhenti bikin film itu," katanya seraya tersenyum.
Hanung mengatakan fenomena yang terjadi saat ini, produser juga bisa mendikte dan memaksa sutradara untuk membuat film dalam waktu yang singkat tanpa memerhatikan segi estetika film itu.
"Sekarang ini produser bisa saja memilih waktu kapan filmnya akan ditayangkan meskipun film itu belum dibuat, dan ada sejumlah produser yang sudah mendaftarkan filmnya ke bioskop walaupun baru punya judul filmnya saja," katanya.
Keadaan ini, lanjutnya, membuat sutradara tertekan dan bekerja bukan atas dasar hasil yang memuaskan. Sutradara bekerja dibawah tekanan jadwal tayang film yang sudah ditentukan oleh produser tanpa mempertimbangkan soal molornya jadwal produksi.
"Kondisi ini terus-menerus terjadi hingga akhir tahun ini, sehingga untuk mengantisipasi keadaan semacam ini ada dua pilihan yang saya lakukan, yakni membuat film digital dengan skenario ringan dan cerita yang mudah dipahami, lalu yang kedua membuat film idealis yakni film dengan tema dan penggarapan lebih serius dan menggunakan pita seluloid," demikian katanya.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008