Jakarta (ANTARA News) - Greenomics Indonesia meminta agar pemerintah, dalam hal ini Departemen Kehutanan, Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian, dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup, segera ambil langkah konkrit untuk mengantisipasi pemberlakuan "Lacey Act" oleh Pemerintah Amerika Serikat mulai tahun 2009.
"Lacey Act" adalah peraturan yang memperketat importasi produk-produk kayu/berbahan baku kayu dari Indonesia ke Amerika Serikat.
"Jika tidak ada langkah antisipasi khusus, krisis keuangan AS dan pemberlakuan 'Lacey Act' tersebut akan memberi dampak signifikan terhadap kinerja ekspor produk kayu/berbahan baku kayu Indonesia," kata Vanda Mutia Dewi, Koordinator Nasional Greenomics Indonesia, di Jakarta, Senin.
"Lacey Act" ini berupa Undang-undang Amerika Serikat yang dimaksudkan untuk memerangi praktik pembalakan liar dengan mengatur larangan terhadap perdagangan produk berbahan baku ilegal, termasuk produk kayu/berbahan baku kayu.
Pemberlakuan Lacey Act terhadap produk kayu/berbahan baku kayu mewajibkan para eksportir dan importir membuat dokumen deklarasi yang meliputi informasi tentang nama spesies kayu yang digunakan, negara asal sumber bahan baku kayu, jumlah kubikasi dan ukuran kayu yang digunakan, serta nilainya.
"Pemerintah harus responsif, jangan sampai nanti mengambil kebijakan-kebijakan kepepet ketika pemberlakuan Lacey Act sudah di depan mata. Perlu diingat, awal April adalah pemberlakuan Lacey Act untuk seluruh produk-produk kayu/berbahan baku kayu, dan pada Juli 2009 akan dikenakan terhadap produk kertas dan turunannya," ujar Vanda.
Ia mengemukakan, setidaknya ada empat langkah yang perlu dilakukan pemerintah.
"Pertama, melakukan konsultasi teknis kepada Kedubes AS di Indonesia tentang kemungkinan penerapan batasan-batasan kayu legal berbasis hukum kehutanan RI. Hal ini perlu dilakukan agar penerapan Lacey Act tersebut tetap menghargai peraturan perundangan RI," katanya.
Selain itu, sambungnya, perlu juga dikonsultasikan sejauh mana tingkat penerimaan Lacey Act terhadap lembaga sertifikasi Indonesia, seperti Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), dalam proses sertifikasi produk kayu/berbahan baku kayu RI yang diekspor ke AS.
"Hal ini penting dilakukan guna menghindari dominasi industri jasa sertifikasi asing terhadap proses sertifikasi produk kayu/berbahan baku kayu di Indonesia dengan dalih ' Lacey Act'," tambah dia.
Langkah kedua, pemerintah RI melalui duta besar perdagangannya di WTO perlu berkonsultasi dengan WTO tentang batasan-batasan penerapan Lacey Act dalam konteks perdagangan internasional.
"Penerapan Lacey Act tersebut harus benar-benar dapat mengusung prinsip-prinsip perdagangan internasional berbasis `perdagangan adil` dengan tetap menghormati batasan-batasan kayu legal yang diatur oleh peraturan perundangan Indonesia beserta indikator-indikatornya," kata dia.
Ketiga, masih kata Vanda, Departemen Kehutanan perlu menyiapkan satu paket Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) yang merangkum seluruh aturan pelaksanaan yang terkait dengan legalitas kayu yang dapat dijadikan acuan utama dalam proses konsultasi terkait dengan pemberlakuan Lacey Act.
"Hal ini perlu dibuat agar satu paket Permenhut tersebut telah mencakup seluruh aspek yang dibutuhkan, misalnya mekanisme legalitas kayu yang mudah ditelusuri, tolok ukur serta indikator kinerja yang mudah diperiksa, dan sebagainya," ujarnya.
Keempat, pemerintah perlu menggarisbawahi bahwa karakteristik Lacey Act adalah berbasis fakta, bukan berbasis dokumen.
"Sehingga, dokumen-dokumen legalitas kayu yang tidak didukung fakta, bisa berakibat produk-produk kayu/berbahan baku kayu RI tidak bisa masuk pasar AS," kata dia menjelaskan.
Berdasarkan data Departemen Perdagangan, pada tahun 2007 terdapat tiga komoditi utama ekspor produk kayu RI ke pasar Amerika Serikat dengan nilai ekspor mencapai 242,2 juta dolar Amerika.
Sedangkan ekspor produk kertas RI ke Amerika Serikat tercatat sebesar 193,4 juta dolar Amerika.
"Jadi, total nilai ekspor produk kayu/berbahan baku kayu (termasuk produk kertas) ke pasar Amerika Serikat mencapai 435,6 juta dolar Amerika pada tahun 2007, atau sebesar 6,94 persen dari total nilai ekspor produk kayu/berbahan baku kayu Indonesia," kata Vanda.
Ini juga berarti, jika produk-produk kayu dan atau berbahan baku kayu RI tersebut gagal memenuhi persyaratan Lacey Act, maka RI akan kehilangan nilai ekspor sedikitnya sebesar 435,6 juta dolar Amerika per tahun.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008