Jakarta (ANTARA News) - Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan belum ada rencana memeriksa Harry Tanoesudibyo dan Hartono Tanoesudibyo, Komisaris PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD), terkait dugaan korupsi pada Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) Depkumham.
Kendati, Yohannes Woworuntu, Dirut PT SRD, menyatakan dirinya telah dipaksa oleh Hartono Tanoesudibyo dan Harry Tanoesudibyo untuk menandatangani surat untuk mengaku sebagai pemegang saham PT SRD.
"Belum ada rencana pemeriksaan Harry Tanoesudibyo dan Hartono Tanoesudibyo. Kalau direksi PT SRD memang akan dimintai keterangan," kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Marwan Effendy, kepada ANTARA, di Jakarta, Minggu.
Yohannes Woworuntu sendiri sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi sisminbakum yang merugikan keuangan negara sekitar Rp400 miliar, dan ditahan oleh Kejagung sejak Jumat (12/12) di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba Cabang Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan.
Jampidsus mengatakan soal pengakuan Yohannes Woworuntu yang menyatakan dirinya ditekan oleh Hartono Tanoesudibyo dan Harry Tanoesudibyo, merupakan pendapat dirinya saja.
"Itu kata Yohannes, kata Hartono Tanoesudibyo tidak waktu dimintai keterangan bulan lalu," katanya.
Dikatakan, Kejagung saat ini masih sebatas pemeriksaan pada Yohannes Woworuntu selaku Dirut PT SRD.
"Tapi kalau nanti ada keterlibatan pihak lain, Insya Allah akan kita periksa juga," katanya.
Sebelumnya dilaporkan, Yohannes Woworuntu, Direktur Utama (Dirut) PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD), menyatakan telah dipaksa Hartono Tanoesudibyo untuk mengaku sebagai pemegang saham PT SRD.
Hartono Tanoesudibyo sendiri menjabat sebagai Komisaris PT SRD.
"Betul, saya pada 8 November 2000 baru kena stroke, didatangi Hartono Tanoesudibyo dan Harry Tanoesudibyo, diminta menandatangani surat sebagai pemegang saham PT SRD," katanya seusai menjalani pemeriksaan di Kejagung terkait dugaan korupsi sisminbakum, Jakarta, Jumat.
Dikatakan, perjanjian antara PT SRD dengan Koperasi Depkumham untuk layanan sistem administrasi badan hukum (sisminbakum), dilakukan pada 8 November 2000.
Kasus itu bermula sejak tahun 2001 sampai sekarang, Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) di Ditjen AHU, telah diberlakukan dan dapat diakses melalui website www.sisminbakum.com.
Dalam website itu telah ditetapkan biaya akses fee dan biaya Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Biaya akses fee itu dikenakan untuk pelayanan jasa pemerintah berupa pemesanan nama perusahaan, pendirian dan perubahan badan hukum dan sebagainya.
Namun biaya akses fee itu tidak masuk ke rekening kas negara melainkan masuk ke rekening PT SRD dan dana tersebut dimanfaatkan oleh oknum pejabat Depkumham.
Permohonan perhari melalui sisminbakum yang dilakukan notaris seluruh Indonesia, adalah, kurang lebih 200 permohonan dengan biaya minimal Rp1.350.000 dengan pemasukkan perbulan sebelum 2007 di bawah sekitar Rp5 miliar dan setelah 2007 sekitar Rp9 miliar.
Total biaya yang diperlukan tiap notaris untuk pengesahan sebuah perseroan mencapai Rp1.685.000, Rp200 ribu untuk PNBP, Rp350 ribu (PPN 10 persen) tarif akses pemesanan nama persero, dan Rp1 juta (PPN 10 persen) tarif akses pendirian perseroan.
Yang jadi masalah, biaya di luar PNBP Rp1.350.000 tidak masuk kas negara, tapi bagian untuk swasta PT SRD dan koperasi pengayoman.
Dalam kasus tersebut, Kejagung sudah menetapkan empat tersangka, yakni, Zulkarnain Yunus dan Romli Atmasasmita (mantan Dirjen Administrasi Hukum Umum), serta Syamsuddin Manan Sinaga (Dirjen AHU), dan Yohannes Woworuntu (Dirut PT SRD).(*)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008