Perahu kecil tersebut diberi tiga sekat. Mesin diletakkan di bagian belakang. Kemudian perahu didorong ke tengah pantai oleh operator mesin yang masih berusia relatif muda.
Sejurus kemudian mesin perahu dinyalakan. Perahu berjalan pelan menjauhi bibir pantai. Laju perahu dibuat lamban berjalan oleh operator mesin.
Pada saat perahu kemasukan air laut dari sebuah lubang. Pangihutan Sitorus (46), petambak yang memandu ke lokasi keramba jaring apung menenangkan penumpangnya meski dia sendiri melihat air laut itu bertambah banyak.
"Tenang , tidak akan tenggelam. Lubang air di bagian tengah itu bertujuan agar dapat membawa ikan dalam kondisi segar," ujarnya.
Namun sayangnya, perahu itu tidak dilengkapi kaca pada bagian bawah perahu sehingga tidak bisa melihat keelokan terumbu karang di perairan yang kerap dijadikan tempat berlibur ini.
Burung-burung beterbangan tanpa arah. Membuat suasana pantai menjadi hidup. Perjalanan menuju lokasi keramba jaring apung untuk membudidayakan ikan kerapu tikus (cromileptes altivelis) membutuhkan waktu sekitar tujuh menit.
Sitorus meminta bantuan para penjaga keramba jaring apung untuk mengikat tali di bambu. Kemudian, para penumpangnya turun dari perahu. "Ya, inilah lokasi keramba jaring apung kami. Tempat budidaya ikan kerapu tikus dari ukuran 10 sentimeter berkembang hingga layak dijual," katanya.
Keramba terbuat dari bambu dan kayu yang diberi tong pada bagian bawahnya. Sementara itu, ujung tiap jangkar disautkan di bawah laut agar keramba tidak berubah posisinya. Sekitar 16 petak tempat budidaya ikan.
Bentuk keramba dibuat persegi. Sitorus merancang kerambanya dibagi dua bagian. Terdapat jembatan yang terbuat dari selembar papan kayu untuk menuju ke dua keramba.
Petani ikan terkemuka itu meminta penumpangnya melepas alas kaki saat melintasi petak-petak keramba. "Diperlukan langkah kaki yang sigap saat melintasi petak keramba," ucapnya.
Sitorus bercerita tentang awal usahanya di tempat yang menyerupai pos ronda. "Sekitar tahun 2004 mulai tekuni usaha budidaya ikan kerapu tikus dan kerapu macan. Pakan yang baik diberikan ikan kerapu tikus, sisanya diberikan ikan kerapu macan," katanya sambil menghisap rokok.
Ikan kerapu tikus dipasaran luar negeri dihargai Rp350 ribu per kilogram. Bahkan, sebelumnya Rp500 ribu/kg. Untuk jenis ikan kerapu macan dihargai Rp100 ribu/kg. "Keuntungan yang besar di depan mata yang membuat saya menekuni usaha ini," ujarnya.
Sitorus memperoleh ikan kerapu tikus berukuran 10 cm dari petambak lain, Dedy Suhairy. Ada segmentasi pembudidayaan ikan kerapu tikus. Ada petambak yang mengurusi dari telur hingga menjadi larva. Kemudian larva berukuran 1 inchi dijual ke petambak lain yang mengurusi ikan berukuran 3-5 cm. Sementara Hary merawat ikan kerapu tikus dari ukuran 5-10 cm.
"Merawat ikan kerapu tikus ini butuh ketelatenan dan feeling kapan memberi pakan," tambahnya.
Namun, Sitorus harus merogoh kantong untuk biaya operasional sebesar Rp100 juta/bulannya. Biaya operasional untuk membeli pakan, plankton, asupan nutrisi agar tahan penyakit, dan penjaga keramba. Sementara Hary--yang termasuk petambak kelas rumah tangga--membutuhkan biaya Rp25 juta per bulan.
Menurut pencinta kuliner, ikan kerapu tikus dagingnya terasa lembut dan bisa menambah gengsi orang yang mengonsumsi ikan ini. Pasalnya, hanya orang menengah ke atas yang bisa menyantap ikan ini.
Sitorus berharap ikan kerapu tikus tujuan ekspor ke Cina, Taiwan, Malaysia, dan Vietnam tidak menurun karena krisis global.
Krisis global yang tidak kini tengah terjadi, tidak berpengaruh terhadap usahanya. Namun, dia paling takut terhadap pemanasan global karena menyebabkan ikan-ikannya mati.
"Beberapa waktu lalu saat panas matahari berlebihan membuat ratusan ikan yang saya pelihara mati," kisahnya. (*)
Pewarta: Oleh Kholied Mawardi
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2008