"Ketika bicara soal hak pekerja migran maka tidak hanya analisa soal konvensi PBB soal buruh migran saja, tetapi harus melihat yang lain," kata Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM itu ketika berbicara di diskusi perihal permasalahan buruh migran yang diadakan di Jakarta Pusat, Senin.
Salah satu koordinator di Komnas HAM itu mengatakan bahwa namanya HAM terkait satu dengan lainnya yang harus diterapkan juga ketika berbicara soal pekerja migran.
Permasalahan yang dihadapi oleh pekerja migran itu, kata dia, berlapis, mulai dari sosial, seperti stigma dan penerimaan masyarakat, padahal mereka dianggap sebagai komoditas oleh beberapa pihak sebagai penyumbang penerimaan negara dan memiliki kontribusi signifikan terhadap produk domestik bruto (PDB).
Baca juga: Migrant Care: Masih ada kendala penegakan hukum untuk pekerja migran
Itu membuat mereka, kata dia, terkadang tidak dilihat sebagai manusia dengan hak-hak, tapi sebatas remitansi atau transfer uang dari mereka yang bekerja di luar negeri ke negara asalnya.
Baca juga: Migran Care: Cermati potensi pekerjaan hilang di era digitalisasi
Menurut data Migran Care, pendapatan remitansi pekerja migran Indonesia meningkat 25 persen pada 2018 dengan perolehan 10,974 juta Dolar AS atau senilai Rp149 triliun. Organisasi non-pemerintah yang membela hak pekerja migran itu memproyeksikan remintansi 2019 bisa mencapai 11,095 juta Dolar AS atau sekitar Rp151 triliun.
Baca juga: Pemerintah pusat-daerah harus lebih sinergi layani pekerja migran
Dengan sumbangan sebesar itu, pekerja migran masih menghadapi berbagai permasalahan, seperti kurangnya perlindungan hukum yang mereka terima.
"Problem yang dihadapi ada juga penegakan hukum ketika kemudian buruh migran berhadapan dengan hukum dia tidak mudah mengakses bantuan hukum. Sangat susah, berlapis-lapis, kemudian bisa jadi akses bantuan hukum menjadi jauh lebih berat dari pada akses-akses yang lain," kata Beka.
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020