Semarang (ANTARA) - Beberapa waktu belakangan, kembali marak aksi begal. Bukan begal motor, melainkan “begal payudara” dan “begal bokong”.
Sebelumnya, kita mengenal istilah begal motor yang merujuk pada aksi merampas kendaraan bermotor di tengah jalan dengan menghentikan pengendaranya. Namun, istilah perampasan pada begal motor ternyata tidak sama maknanya dengan istilah pada “begal payudara” dan “begal bokong”.
Istilah “begal payudara” yang akhir-akhir ini populer ternyata merujuk ke bentuk kekerasan seksual yang terjadi di ruang publik ketika pelaku (penjahat seksual) dengan menggunakan motor, menyerang korban dengan cara (maaf) memegang atau memeras payudara perempuan korbannya secara cepat.
Kasus begal payudara memang belum lama ini terjadi di Bekasi. Pelaku bernama Denny Hendrianto (22), telah ditangkap polisi. Berdasarkan pengakuannya, sejauh ini, pelaku telah melakukan terhadap lima korban.
Denny Hendrianto, sang pelaku, wajahnya mulai dikenali selepas salah satu kejahatannya terekam CCTV. Ia terekam melakukan penyerangan itu kepada seorang perempuan berusia 38 tahun. Korban tengah membawa tas plastik kresek serta mengenakan kerudung hitam panjang.
Selain itu, istilah "begal bokong" juga populer di tengah masyarakat. Istilah tersebut merujuk pada aksi kekerasan seksual, yakni pengendara bermotor (laki-laki) yang dengan tiba-tiba (maaf) meremas bokong korban (perempuan). Sebagaimana diketahui, aksi kekerasan seksual “begal bokong'” beberapa waktu lalu terjadi di wilayah Jakarta Timur. Aksi pelaku itu terekam kamera CCTV dan viral di media sosial.
Peristiwa tersebut terjadi di Jalan Mulia Otista, Bidara Cina, Jatinegara, Jakarta Timur, Jumat (17/1) pagi. Dalam rekaman CCTV terlihat korban sedang berjalan kaki di sebuah gang. Pelaku datang dengan mengendarai sepeda motor. Saat mendekati korban, pelaku memelankan laju motornya. Pelaku kemudian meraba bokong korban, lalu kabur sambil tancap gas meninggalkan korban. Polres Jakarta Timur menangkap BHR (28), pria yang sempat viral karena aksi “begal bokong” di Jakarta Timur.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata pembegalan bermakna: proses, cara, perbuatan membegal; perampasan di jalan; penyamunan,. Sedangkan begal atau penyamun menurut KBBI bermakna: orang yang menyamun; perampok; perampas. Dengan kata lain begal adalah aksi yang bertujuan merampas barang.
Dengan demikian, istilah begal hanya tepat digunakan untuk menunjukkan adanya perampasan barang milik orang lain seperti sepeda motor. Namun, istilah begal tidak tepat apabila digunakan untuk merujuk pada kasus kekerasan seksual berupa peremasan payudara dan bokong karena payudara dan bokong bukanlah benda atau barang.
Payudara dan bokong perempuan bukanlah semata-mata objek seksual yang dapat diperlakukan sama dengan objek beda. Oleh karena itu, istilah “begal payudara” dan “begal bokong” yang banyak digunakan dan disiarkan media tidak tepat.
Sejak zaman dahulu kala, pemerhati gender sangat menentang anggapan bahwa perempuan hanya dapat dilihat sebagai objek seksual dengan cara memuja sekaligus menista bagian-bagian tubuhnya, di antaranya bibir, pinggul, payudara, dan bokong.
Apabila bagian-bagian tubuh perempuan hanya dilihat sebagai objek seksual semata, akan mengakibatkan bias gender yang berimplikasi pada bias representasi perempuan sebagai makhluk yang hanya pantas dijadikan “objek”. Pada dasarnya, perempuan dan laki-laki masing-masing memiliki subjektivitas, potensi, dan daya cipta pada dirinya.
Tampaknya istilah “begal bokong” dan “begal payudara” yang diciptakan media lebih mengutamakan aspek populis dan menarik. Tentu saja, hal ini tidak tepat karena mengandung bias gender.
Sebagaimana diketahui, ciri-ciri utama bahasa jurnalistik di antaranya sederhana, singkat, padat, lugas, jelas, jernih, menarik, demokratis, populis, logis, dan gramatikal atau mengikuti kaidah tata bahasa baku (Sumadiria, 2006).
Istilah “begal payudara” dan “begal bokong” memang populis dan mampu menarik serta membangkitkan minat pembaca media. Kedua istilah tersebut dikategorikan populis karena memang sudah akrab di telinga pembaca dan pemirsa disebabkan maraknya kasus begal motor beberapa waktu belakangan.
Namun, istilah “begal payudara” dan “begal bokong” yang marak digunakan di media sebenarnya tidak logis sehingga bertentangan dengan kaidah bahasa jurnalistik. Istilah “begal payudara” dan “begal bokong” dikatakan tidak logis karena begal atau perampok adalah seseorang yang merampok barang bawaan atau harta korban, sedangkan payudara atau bokong milik perempuan bukanlah barang.
Mitos Jurnalisme
Istilah “begal bokong” dan “begal payudara” yang tidak logis dan mengandung bias gender dapat dikatakan merupakan mitos jurnalisme. Mitos merupakan hal yang menyesatkan. Hal ini dikarenakan mitos merupakan semacam wicara yang disampikan lewat wacana (discourse alias diskursus) dan tidak jelas asal usulnya (Barthes, 1991).
Mitos jurnalisme dapat diartikan sebagai representasi kolektif media yang lebih menekankan aspek konotatif suatu sistem wicara. Jurnalisme akan menjadi mitos apabila kehilangan makna denotatifnya, yakni sebagai penyampai informasi yang tidak bias kepada khalayaknya.
Istilah “begal payudara” dan “begal bokong” merupakan mitos jurnalisme dikarenakan berada di wilayah konotatif yang melihat perempuan hanya pantas dianggap sebagai obyek atau barang. Dalam hal ini, media massa berfungsi sebagai “pemanipulasi” fakta dan realitas, sekaligus sebagai pengukuh superioritas laki-laki dan memarjinalkan perempuan.
Mitos jurnalisme terjadi manakala media hanya menjadi penopang kekuasaan atas superioritas laki-laki (patriarkhi), pemuas syahwat kaum mayoritas (laki-laki), dan alat penghasil keuntungan bisnis. Media menjadi alat penghasil keuntungan bisnis apabila semata-mata ingin mengadirkan sesuatu yang sensasional guna menyedot minat khalayak sebanyak-banyaknya walaupun hal demikian bertentangan dengan etika jurnalistik.
Dalam konteks jurnalistik, tanggung jawab etis media tercermin pada tindak tutur komunikasinya. Tindak tutur dalam Kode Praktik bagi media semestinya lebih mengutamakan akurasi dan menghindari diskriminasi.
Akurasi artinya informasi yang dimuat atau disiarkan harus akurat, tidak menyesatkan, atau diputarbalikkan. Dalam hal akurasi informasi, pers harus menyiarkan secara seimbang dan akurat hal-hal yang berkaitan dengan kesetaraan, dalam hal ini adalah kesetaraan gender.
Untuk menghindari diskriminasi, artinya pers menghindari prasangka atau sikap merendahkan seseorang atau suatu kaum berdasarkan ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, atau kecenderungan seksual, serta terhadap kelemahan fisik dan mental atau penyandang disabilitas (Wahyu Wibowo, 2009).
Dengan demikian, istilah “begal payudara” dan “begal bokong” sebaiknya tidak digunakan lagi oleh media untuk menggambarkan aksi kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan. Dikarenakan kedua istilah tersebut tidak akurat dan mendiskriminasikan kaum perempuan.
*) Penulis adalah pengamat gender dan dosen jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang.
Copyright © ANTARA 2020