"Penurunan harga premium menjadi Rp3.500/liter juga sesuai harga minya dunia saat ini sebesar 40 dolar AS per barel," katanya kepada ANTARA News di Jakarta, Jumat.
Dengan harga premium Rp3.500/liter, maka akan menghidupkan kegiatan sektor riil dan meningkatkan daya beli masyarakat, sehingga perekonomian domestik akan tumbuh pesat yang sekaligus dapat mencegah dampak krisis ekonomi global berupa pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor industri yang mengandalkan bahan baku impor dan berorientasi ekspor.
Berkaitan Dialog Kebangsaan Akhir Tahun 2008 yang diadakan FPN dan Jamaah Wahdatul Ummah, Agus mengusulkan kepada pemerintah, agar mengubah sistem devisa bebas menjadi sistem devisa dan pasar terkendali guna menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan akibat krisis ekonomi global saat ini.
"Pemerintah harus membuat regulasi yang memberikan kemampuan untuk mengendalikan devisa dan pasar domestik untuk kepentingan perekonomian nasional," katanya.
Agus mengharapkan, pemerintah harus mengatur lalu lintas devisa dan ekspor-impor barang untuk melindungi pasar domestik.
"Pemerintah juga perlu menasionalisasi atau sekurangnya renegoisasi posisi cabang-cabang industri strategis yang dikuasai pihak asing serta melakukan moratorium hutang-hutang luar negeri selama 25 tahun," katanya.
Menurut Agus, usulan FPN kepada pemerintah itu dalam rangka membangun daya tahan perekonomian nasional, agar bangsa ini tetap 'survive' di tengah krisis ekonomi dan perubahan zaman ini.
"Dampak krisis ekonomi global terhadap Indonesia, antara lain akan mengakibatkan bangkrutnya pabrik-pabrik yang berimplikasi pada PHK mencapai ratusan ribu pekerja, penurunan nilai rupiah atas Dolas AS yang mencapai Rp12.000/dolar AS," katanya.
Tokoh dari kalangan NU menegaskan, perlunya bangsa Indonesia kembali ke UUD 1945 yang asli dengan spirit reformasi, dalam rangka memperkuat kedaulatan nasional di tengah krisis ini, merupakan pikiran yang tepat.
"Tanpa idealisme Pancasila dan UUD 1945 yang asli, kita tidak memiliki nilai kesakralan terhadap eksistensi bangsa ini, yang membuat kita rela berkorban," ujaranya.
Pemimpin Jamaah Wahdatul Ummah itu mengatakan, terus terang krisis ini bisa menandai berakhirnya peradaban kapitalisme demokrasi dan dimulainya zaman baru ekonomi pasca modernis yang belum diketahui lingkup dan batas tepinya.
"Saat ini FPN melalui forum Pengajian Tauhid Wahdatul Ummah tengah mendalaminya bahwa di setiap perubahan ada yang tetap, ada yang berubah, ada yang hilang dan ada yang muncul baru. Bangsa Indonesia tidak ingin menjadi bagian yang hilang dalam perubahan yang bagaimanapun di dunia ini," demikian KH Agus Miftach.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008