Banjarmasin (ANTARA News) - Prof. DR.H. Hadin Muhjad, SH, MH, seorang Guru Besar Ilmu Hukum di Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin, mengingatkan, penggunaan sistem suara terbanyak multak dalam penentuan calon anggota legislatif (caleg) terpilih pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2009, kekuatan hukumnya lemah.

"Pasalnya walau suatu partai politik (parpol) membuat kesepakatan penentuan caleg terpilih dengan sistem perolehan suara terbanyak mutlak yang dilakukan berdasarkan Akte Notaris, tak bisa meniadakan perundang-undangan yang berlaku mengenai Pemilu," tandasnya menjawab ANTARA Banjarmasin, Kamis, sehubungan dengan masih bergulirnya polemik sistem suara terbanyak tersebut.

Menurut Guru Besar yang mengasuh bidang studi Hukum Tatanegara itu, kesepakatan yang dibuat parpol, walau dituangkan dalam bentuk Akte Noratis, tidak sama dengan "lex specialis" dan tak bisa menggugurkan kekuatan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu yang masih domiman menggunakan sistem nomor urut terhadap caleg terpilih.

"Terkecuali caleg Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi serta kabupaten/kota tersebut mencapai 30% dari bilangan pembagi pemilih (BPP) sebagaimana diatur dalam perundang-undangan terkait Pemilu 2009. Bila tak mencapai 30% BPP, walau suara terbanyak, penentuan caleg jadi tetap pada nomor urut," lanjutnya.

Oleh sebab itu, mantan aktivis mahasiswa Fakultas Hukum Unlam tersebut, mengingatkan pula, bagi caleg ataupun parpol yang menggunakan sistem suara terbanyak multak untuk penentuan caleg terpilih agar lebih berhati-hati, karena rentan terjadi konflik dan bisa menjadi masalah besar.

"Karena undang-undang Pemilu tidak mengenal sistem suara terbanyak mutlak dan tak pula melindungi sistem tersebut bila suatu saat terjadi permasalahan. Misalnya caleg nomor urut satu atau teratas tak mau mundur, sedangkan perolehan suara terbanyak mutlak pada nomor lima namun tidak mencapai 30% dari BPP," tuturnya.

Dalam kasus sebagaimana misal tersebut, pimpinan parpol bisa saja menggunakan "tangan besi" yaitu dengan cara memecat caleg yang tak mau mundur itu dari keanggotaan partai, sehingga tak berhak lagi menduduki kursi legislatif.

"Tapi cara pecat-memecat itu suatu penyelesaian yang tidak elegan dan belum tentu menyelesaikan masalah. Yang jelas dengan pecet-memecat itu penyelesaiannya tak mudah dan harus makan waktu," demikian Hadin Muhjad.

Pada kesempatan terpisah, Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kalsel, H. Bachruddin Syarkawi, menyatakan, mengingat bakal rumitnya menggunakan sistem suara terbanyak mutlak, maka parpol berlambang kepala banteng moncong putih itu bersepakat penentuan caleg jadi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

"Untuk menentukan caleg terpilih, kami tetap menggunakan sistem nomor urut, kecuali ada yang mencapai 30% dari BPP," ujar Ketua DPD PDIP Kalsel yang juga Wakil Ketua DPRD provinsi setempat itu.

Ia mengaku, pada saat penyusunan nomor urut caleg, memang terjadi perdebatan hangat, bahkan hampir terjadi pertengkaran bila salah kendali.

"Tapi kami, sebagaimana peribahasa Daerah Banjar, Kalsel, `lebih baik bakalahi badahulu daripada bakalahi tadudi" (lebih baik berkelahi lebih dulu daripada berkelahi kemudian)," demikian Bachruddin. (*)

Copyright © ANTARA 2008