Seoul (ANTARA News) - Mak comblang mengalami masa panen di Korea Selatan di tengah krisis ekonomi global yang menghimpit, dengan para ayah ingin buru-buru menikahkan anak mereka dan para wanita pengangguran ingin menemukan keamanan di bidang keuangan dalam kehidupan perkawinan.
Beberapa biro jodoh telah melaporkan lonjakan tajam dalam jumlah pengunjung ke laman internet mereka, terutama sejak terjungkalnya raksasa Wall Street, Lehman Brothers, pada September lalu, yang memicu gejolak tersebut.
Biro Jodoh Duo mengalami peningkatan pengunjung menjadi 35.000 dalam pekan kedua Nopember, padahal pada pekan pertama September jumlah mereka baru mencapai 23.800 pengunjung saja.
Sunoo, sebuah biro jodoh terkemuka lainnya, menyatakan jumlah kunjungan meningkat dua kali lipat pada periode yang sama.
Wedian melaporkan lonjakan delapan kali lipat dalam sebulan, yang dimulai pada 22 Oktober, ketika biro itu mengubah sistem pelayanannya menjadi pembayaran setelah menikah.
Banyak orang tua mendaftar menjadi anggota layanan itu karena mereka ingin agar anak-anaknya cepat menikah saat ayahnya masih bekerja, kata Hyeong Nam-Kyu, direktur Duo, kepada AFP.
Menurut Hyeong, fenomena serupa terjadi ketika Korea Selatan dilanda krisis finansial Asia pada 1997-1998.
Tradisi angpao
Di Korea Selatan, para tamu membawa angpao atau amplop berisi uang tunai ke acara perkawinan untuk membantu membiayai acara yang berbiaya besar tersebut.
Nama pemberi angpao dan besarnya sumbangan ditulis dengan hati-hati untuk mengembalikan uang kondangan itu pada acara serupa.
Tradisi perkawinan melalu jasa mak comblang masih banyak dianut di Korea Selatan, terutama di kalangan kelas atas.
Kekayaan dan status sosial dari keluarga pihak terkait, pekerjaan calon mempelai pria dan wanita dan bahkan seberapa cantik dan tampan para calon menjadi bahan pertimbangan biro jodoh sebelum mereka mengatur pernikahan.
Direktur Shin Yong-Seong dari Wedian menyatakan banyak orang tua berusaha menikahkan anak mereka sebelum ayahnya mencapai usia pensiun atau terpaksa di rumah saja. (*)
Pewarta:
Copyright © ANTARA 2008