"Non-interference policy justru membantu perkembangan rezim otoritarianisme dan diktatorial di Myanmar," kata Asisten Profesor McGill University, Kanada, Erik Martinez Kuhonta dalam kuliah umum di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Selasa.
Ia menjelaskan saat ini Myanmar dipimpin oleh junta militer yang berkuasa sejak 1988 dengan cara diktatorial. Rakyat Myanmar memprotes kebijakan junta militer dan menuntut pemberlakuan nilai demokrasi dengan berdemonstrasi di jalan.
Negara anggota anggota ASEAN tetap menerapkan non-interference policy untuk menghormati kedaulatan negara anggota dan mendorong terciptanya stabilitas keamanan kawasan Asia Tenggara.
"Padahal dukungan dari ASEAN dibutuhkan untuk membantu proses demokrasi di Myanmar," katanya dalam makalah "Walking a tightrope: democracy versus sovereignty in ASEAN`s illiberal peace".
Meskipun gagal mendorong demokrasi di Myanmar, tetapi ASEAN berhasil menciptakan perdamaian dan mengurangi kemungkinan terjadi perang antarnegara anggota sehingga stabilitas keamanan di kawasan Asia Tenggara terjaga.
Saat ini pemimpin negara-negara anggota ASEAN mulai memberikan perhatian lebih pada upaya penegakan demokrasi dan hak asasi manusia di Myanmar dengan cara ASEAN. Dengan demikian, masa depan Myanmar diharapkan menjadi lebih baik.
Ia mengatakan , ASEAN dalam berdiplomasi menggunakan cara halus, menghindari kekerasan dan mengadakan pertemuan informal untuk mencapai tujuan yang diinginkan. "Berbeda dengan negara Barat yang menggunakan cara yang tegas, transparan dan pertemuan formal, " katanya.
ASEAN atau Perhimpunan Bangsa-Bangsa di Asia Tenggara yang didirikan pada 8 Agustus 1967 beranggotakan 10 negara, yaitu Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, Brunei Darussalam, Vietnam, Kamboja, Laos dan Myanmar. (*)
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2008