Jakarta (ANTARA News) - Ketua DPP Partai Demokrat bidang ekonomi Darwin Zahedy Saleh memandang "booming" industri batik Pekalongan sebagai salah satu sektor riil yang memelopori bangkitnya kekuatan permintaan dalam negeri di tengah dampak krisis keuangan global saat ini. "Mungkin luput dari perhatian kita bahwa setelah tahun 2007, batik Pekalongan itu booming," ujar Darwin di Jakarta, Selasa. Padahal sejak tahun 2004, ia melanjutkan, berbagai kegiatan industri di banyak negara, termasuk Indonesia, terdesak produk-produk Cina. Menurut Darwin yang juga ekonom UI itu, "booming" industri batik Pekalongan itu merupakan hikmah positif dari kebijakan pemerintah di sejumlah daerah yang mewajibkan pegawai negeri sipil-nya untuk menggunakan batik di hari-hari tertentu. "Kini beragam model pakaian batik digunakan kalangan muda sehari-hari," katanya. Di Pasar Grosir Batik Setono di perbatasan Pekalongan-Batang, katanya, industri batik tampak menggeliat dan pembeli dari berbagai daerah datang memborong batik pesisiran ala Pekalongan itu. "Itulah bukti nyata bahwa pemerintah, khususnya Pemda, dapat memelopori bangkitnya kekuatan permintaan dalam negeri di tengah dampak krisis keuangan global yang segera menjelang," tutur Darwin. Lebih lanjut Darwin mengungkapkan bahwa ancaman PHK ribuan pekerja yang mungkin terjadi saat ini akan kian memperbanyak jumlah tenaga kerja sektor informal yang sesungguhnya juga sudah terlalu banyak (sekitar 70 persen) sejak krisis 1998 lalu. Dari 49,8 juta tenaga kerja nonpertanian, 85 persennya berskala mikro dan kecil, termasuk 11,9 juta tenaga kerja dalam industri rumah tangga. "Kaum duafa itu perlu dilindungi dari dampak negatif globalisasi yang kali ini berupa krisis keuangan global dan membanjirnya produk Cina," kata Darwin Dia juga mengatakan bahwa perhatian pemda-pemda itu ternyata telah mampu membangkitkan gairah industri batik Pekalongan dan dari total 10 ribu perajin di Pekalongan tentunya banyak terbantu walau harus diakui pula itu belum mengangkat upah mereka yang masih rendah dari Rp200 ribu hingga Rp600 ribu per bulan saja. "Upah itu memang masih di bawah rata-rata UMR di Indonesia," katanya. Pemda-pemda yang kini menerima 30 persen dari total alokasi APBN, atau 180-an BUMN dengan sejumlah anak perusahaannya, menurut Darwin, sebenarnya juga dapat memelopori bangkitnya permintaan dalam negeri.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008