Satu pelajaran yang bisa kita petik dari putusan kasus anak di Malang, pada intinya seluruh penanganan kasus pidana terhadap anak sebagai pelaku harus dengan 'treatment' khusus
Jakarta (ANTARA) - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menilai vonis yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Kepanjen, Malang, Jawa Timur, terhadap pelajar kelas XII SMA yang membunuh begal dengan 1 tahun pembinaan di Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) Darul Aitam, Wajak, sudah tepat dan layak mendapat apresiasi.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu, dalam rilisnya, Jumat, menyatakan sudah selayaknya penanganan kasus pidana yang melibatkan anak, seperti yang terjadi di Malang, mendapatkan perlakuan tidak biasa.
Hakim harus benar-benar cermat mengambil pertimbangan sebelum menjatuhkan hukuman kepada pelaku anak.
Baca juga: Keluarga pelajar pembunuh begal di Malang terima putusan hakim
Baca juga: ZA, pelajar bunuh begal bakal dibina layaknya santri di LKSA
Pada kasus ini, Edwin menilai majelis hakim telah menggunakan perspektif anak dalam menjatuhkan vonis.
"Satu pelajaran yang bisa kita petik dari putusan kasus anak di Malang, pada intinya seluruh penanganan kasus pidana terhadap anak sebagai pelaku harus dengan 'treatment' khusus," ujar Edwin.
Lebih lanjut, Edwin berharap agar kedepannya majelis hakim yang menangani kasus dengan pelaku anak dapat merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai salah satu bahan pertimbangan sebelum menjatuhkan vonis.
Poin penting PERMA tersebut adalah, Hakim wajib menyelesaikan persoalan pidana anak dengan acara Diversi. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Memang diakui, prosedur hukum ini masih tergolong anyar dalam sistem dan pembaharuan hukum pidana di Indonesia.
Terlepas dari kasus ZA, Edwin berpendapat bahwa Institusi penghukuman bukanlah jalan terbaik untuk menyelesaikan permasalahan anak karena justru di dalamnya rawan terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak anak.
'Proses penghukuman harus menjadi jalan terakhir atau dalam bahasa hukum dikenal istilah ultimum remedium," kata Edwin.
Untuk itu, penegak hukum perlu menggunakan paradigma dan pendekatan hukum baru dalam menyelesaikan kasus pidana yang melibatkan anak.
"Konsep restoratif justice (keadilan restoratif) perlu menjadi pertimbangan yang sangat penting bagi penegak hukum dalam menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak," kata Edwin.
Keadilan Restoratif merupakan sebuah diskursus baru dalam pendekatan hukum, dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu, bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik, dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan.
"Inti dari keadilan restoratif adalah penyembuhan, pembelajaran moral, partisipasi dan perhatian masyarakat, dialog, rasa memaafkan, tanggungjawab dan membuat perubahan," katanya.
Baca juga: Pelajar bunuh begal demi lindungi pacar didakwa seumur hidup, benarkah?
Baca juga: Pelajar bunuh begal divonis hukuman pembinaan selama setahun
Pewarta: Joko Susilo
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2020