Jakarta (ANTARA News) - Pada masa berjalan --manakala harga komputer, gadget dan tarif telepon semakin murah, semakin kaya fitur-- puluhan juta orang Indonesia mungkin lebih akrab dengan Facebook, MySpace, Twitter, Flickr, hi5, YouTube, Friendster, Flixter, Yahoo Messenger, mikroblog dan jejaring sosial virtual lain yang pasti bertambah canggih, ketimbang media-media tradisional.

Sementara, dulu, media-media global seperti CNN, BBC, New York Times, Washington Post, Guardian, Wall Street Journal dan banyak lagi, harus berpayah-payah dulu mengirim wartawan untuk meliput banyak peristiwa eksklusif di semua sudut kolong jagat.

Mereka pernah tidak bisa memasuki Korea Utara yang kuper atau Tibet yang saat itu diisolasi China, sehingga tidak bisa mewartakan apa yang terjadi di sana.

Tetapi, dari Teror Mumbai, India, 26 November 2008, media global memperoleh pelajaran berharga bahwa eksklusivitas dan kedalaman liputan tidak harus dicapai dengan bersegera mengirim kru ke lapangan atau memaksa para koresponden yang kebetulan tidak di tempat kejadian untuk bergegas ke situs peristiwa.

Mereka kini memanfaatkan betul fenomena di mana warga biasa, mampu mengerjakan fungsi-fungsi jurnalistik seperti melaporkan, mengumpulkan, menata, bahkan memverifikasi informasi dan berita baik teks, audio, video, sampai info grafis, di manapun dan kapanpun.

Profesor Jurnalistik dari Universitas Columbia yang juga reporter iptek dan pendiri South Asian Journalists Associaton, Sreenath Sreenivasan, menyebut Teror Mumbai menjadi tonggak bagi evolusi jurnalisme, khususnya jurnalisme warga (citizen journalism).

Organisasi berita tradisional memang akan tetap hidup, namun paradigma dan caranya telah berubah.

NYTimes.com misalnya, menawari para saksi Teror Mumbai untuk memublikasikan kesaksian langsung mereka melalui lamannya, tatkala desingan peluru dan lemparan granat teroris mengincar nyawa mereka.

The Guardian, CNN dan situs-situs berita lainnya, bahkan tinggal menadahkan tangan menanti hujan informasi-informasi eksklusif dari Twitter, Flickr, dan jejaring sosial virtual lain, untuk kemudian mereka sunting, rapikan, organisasikan dan publikasikan.

Tanpa mengirim reporter, media massa global memperoleh cerita dan gambar secepat peristiwa teror terjadi, bahkan bisa sedalam investigasi jurnalistik, seekslusif keinginan stasiun-stasiun berita, seaktual dan sefaktual kesaksian langsung para saksi peristiwa.

"Aku percaya, pada masa depan, fungsi terpenting lembaga-lembaga pemberitaan adalah mengorganisasikan berita-berita (dari warga)," kata Jeff Jarvis, pakar internet dan profesor jurnalisme dari City University of New York seperti dikutip the Guardian (1/12).

Jejaring sosial virtual diantaranya Facebook dan mikroblog seperti Twitter, telah memperluas jangkauan layanan berita lembaga-lembaga pemberitaan ke dalam masyarakat global sehingga media tidak lagi hanya sebagai agen informasi, jendela bisnis dan penarik iklan, tetapi juga pintu ke dunia maya (cyberdoor).

Untuk laman CNN.com misalnya, cyberdoor ini berfungsi ganda, menjadi pintu masuk bagi profil, pesan pribadi dan daftar kawan pemilik blog ke dalam CNN Forum, dan menjadi pintu keluar untuk berita-berita, video dan blog favorit dalam CNN.com untuk disebarkan lagi dalam Facebook mereka.

Akibatnya, menurut Arielle Emmett dalam American Journalism Review (AJR) edisi Desember/Januari 2009, portal CNN menjadi semakin kaya sekaligus bertambah sibuk lalulintas aksesnya berkat komunitas-komunitas dalam Facebook. "Kini, page view CNN setiap bulannya mencapai 1,87 miliar."

Sementara, laman jaringan televisi PBS (Public Broadcasting Service), pada Oktober 2008, telah menarik pengunjung laman sebanyak 877 ribu per hari, ditambah 20 juta pengunjung temporer (unik).

Twitter

Tiga, empat tahun lalu, orang hanya bisa chating melalui komputer, namun kini anak-anak muda anteng chating melalui telepon seluler dan gadget lainnya, tidak hanya di ruangan, namun juga dalam angkot, kereta api, bis kota, busway, ruang tunggu bandara, cafe, mal dan banyak lagi. Pokoknya, mereka bisa bercengkerama di mana saja, kapan saja, dengan siapa saja.

Sembari senyum sendiri, jemari tak henti menekan tuts, berkomunikasi dengan karib dan komunitas virtual mereka sambil melintasi tabir waktu, bangsa, keyakinan, dan geografi.

Mereka berbicara soal asmara, mode, gaya hidup, teroris, UU pornografi, gosip artis, kontrak bisnis, Liga Inggris, hingga konser The Changcuter, Obama dan Paris Hilton.

Sementara di AS, badan antariksa nasional AS (NASA) menggunakan Twitter dari wahana angkasa luar Phoenix, untuk berkomunikasi dari Planet Mars yang "diinvestigasi" Phoenix, dengan manusia di Bumi yang tentu saja sama-sama pengguna Twitter.

Di dimensi lain, politisi-politisi muda, cerdas dan energik seperti Barack Obama dan Hillary Clinton memanfaatkan Twitter untuk menyelaraskan diri dengan kekinian, meraba masa depan dan menjaring pemilih baru yang jumlahnya berlimpah tapi lebih suka menyambangi dunia gemerlap ketimbang dunia politik yang gelap.

Kolumnis Lee Thornton, dalam AJR edisi Desember/Januari 2009, menyebut, Obama sukses mengeksploitasi new media (internet) sehingga ia meraih kemenangan besar dengan merebut duapertiga suara pemilih muda yang turut pemilu 4 November 2008.

"Tim Obama memahami bahwa keberhasilan kampanye mereka amat tergantung pada teknologi, laman-laman jejaring sosial, wahana-wahana telekomunikasi layar sentuh modern yang mereka rajut, dan BFF Google (best friend forever Google, para peselancar internet fanatik)," kata Lee.

Apa yang terjadi pada sistem politik kontemporer AS adalah pertautan yang sempurna antara teknologi dengan sebuah generasi yang berkeinginan mencari simpul antara sebab dan akibat tanpa didikte kekuatan-kekuatan di luar dirinya.

Obama mengerti ini semua, demikian pula banyak politisi muda di seluruh dunia. Mereka memahami kawula muda kini mengerti bahwa dunia telah berubah menjadi amat terbuka, eksploratif, namun sangat privat.

Mereka bisa seberpengaruh para analis, pengamat dan kolumnis beken, bahkan lebih merdeka mengutarakan opini ketimbang editor dan produser yang bekerja untuk perusahaan-perusahaan media yang dimiliki seseorang dan acap menuntut kooptasi pada kepentingan pengendali perusahaan.

Mereka juga tak bisa ditarik oleh jargon-jargon politik yang klise dan tidak kreatif dari para politisi usang.

Saking pentingnya mereka, mengutip Washington Post (12/9/2007), Presiden George W. Bush pun lebih memilih mengundang para blogger daripada pemimpin redaksi, seolah hendak mengatakan bloger itu sepenting media pemberitaan.

Dan khusus mengenai Twitter yang dianggap jejaring sosial termutakhir dan bakal mengubah paradigma media, kolumnis AJR, Arielle Emmett, menyebut tool dan fasilitas pengirim pesan mobil di dalamnya, telah membuat anggota-anggota komunitasnya -termasuk para kolumnis dan produser-- bisa berbalas kirim teks untuk bertukar pertanyaan, berbagi komentar dan informasi terkini, hanya dengan 140 karakter, bak layanan pesan singkat sms dan chating.

Usia Twitter, memang masih sangat muda yaitu baru dua tahun, namun jejaring sosial fenomenal ini sudah dilanggani sejuta orang yang umumnya makmur dan selalu menggali maksimal layanan komunikasi virtual dalam perangkat komunikasi mobil apapun yang dimilikinya.

Para pelanggan bebas keluar masuk laman Twitter tanpa dipungut bayaran, untuk bertukar pesan melalui komputer dan perangkat mobil yang tersedia.

Debut fenomenal Twitter adalah saat gempa bumi Sichuan, China, pada Mei 2008 manakala informasi, audio dan gambar pertama datang melalui Twitter. Namun, yang paling sensasional adalah ketika invasi 60 jam para teroris di Mumbai pekan lalu.

Para jurnalis, termasuk penulis politik washingtonpost.com Chris Cilliza, komentator politik NYTimes.com Kate Phillips dan kritikus musik The Times Jon Pareles, menjadi pelanggan setia Twitter dan rutin menyapa fans Twitter lewat mikroblog mereka.

"Tidak seperti Facebook, Twitter berpotensi mengubah dunia (karena sangat mudah diakses). Anda tidak perlu menjadi teman dan kontak saya. Jika anda di Twitter, kita semua terkoneksi," kata pengarang Bringing Nothing To The Party; True Confessions of a New Media, Paul Carr (The Guardian, 3/12).

Dari Teror Mumbai, keunggulan Twitter seperti disebut Paul itu terekspos hingga memaksa dunia mengakui bahwa jurnalisme, cara manusia bermasyarakat dan sistem koneksi sosial memang telah berubah drastis. (*)

Oleh Oleh A. Jafar M. Sidik
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2008