Jakarta, (ANTARA News) - Penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) harus juga diikuti kebijakan fiskal dan perdagangan sehingga efektif mengangkat sektor riil, kata pengamat ekonomi dari Econit Advisory Group Henri Saparini..

"Tidak dapat cukup dengan pemangkasan suku bunga, tetapi secara menyeluruh dari semua sisi," katanya di Jakarta, Jumat.

Ia menjelaskan dalam kondisi seperti saat ini ini tekanan terhadap perekonomian nasional makin kuat seiring dengan krisis keuangan global.

Untuk itu katanya, agar sektor riil bisa bergerak tidak bisa dilakukan secara parsial dengan hanya menurunkan suku bunga tetapi harus ada kebijakan yang memihak kepada dunia usaha secara bersamaan.

Pada Kamis (4/12) Dewan Gubernur BI memutuskan menurunkan BI Rate sebesar 25 basis poin (0,25) menjadi 9,25 persen dari sebelumnya 9,5 persen.

Keputusan itu diharapkan dapat menjaga gairah di sektor usaha di tengah melesunya perekonomian global, dengan tetap menjaga stabilitas makro.

Menurut Henri yang juga Direktur Pelaksana Econit ini, perlu solusi komprehensif mengatasi masalah di sektor riil demi menghambat gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang sudah mulai bergulir.

Ia berpendapat, melanjutkan penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) seperti premium dan solar, akan sangat membantu industri untuk kembali meningkatkan kapasitas produksi, meskipun belum bisa maksimal.

"Ini akan cukup menolong perusahaan untuk tidak melakukan pengurangan karyawan," ujarnya.

Dari sisi kebijakan perdagangan, sudah saatnya pemerintah serius menghilangkan mengatasi maraknya barang-barang impor, maupun barang-barang illegal sehingga daya saing produk lokal terjaga.

Sedangkan dari sisi fiskal, pemerintah juga harus berpihak kepada industri dalam negeri dengan menurunkan bea masuk bahan baku industri sehingga kapasitas produksi terutama orientasi ekspor bisa dipertahankan.

"Kita yakin, jika seluruh kebijakan dijalankan pemerintah secara bersamaan (moneter, fiskal, dan perdagangan), dunia industri diharapkan tidak dengan mudah mengurangi karyawan," ujarnya.

Henri menuturkan, jumlah PHK saat ini lebih besar dari yang diumumkan pemerintah, padahal struktur biaya tenaga kerja hanya sekitar 10-15 persen dari struktur total biaya suatu perusahaan.

"Jadi, jika suatu persuahaan terpaksa melakukan PHK mengindikasikan bahwa perusahaan itu memasuki tahap yang paling sulit, karena biaya tinggi," ujarnya.(*)

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2008