Brisbane (ANTARA News) - Pemerintah Australia menilai keberhasilan Polri menangkap warga negara Iran, Haj Sakih, dan sejumlah orang yang diduga kaki tangannya merupakan pukulan telak bagi jaringan sindikat penyelundupan manusia di kawasan.

Namun para pelaku aksi kejahatan trans-nasional ini tetap menjadikan Indonesia negara transit menuju Australia.Bahkan mereka mengubah taktik dengan mempercepat masa tunggu para pencari suaka di Indonesia, demikian laporan media Australia, Jumat.

Menteri Imigrasi dan Kewarganegaraan Australia, Senator Chris Evans, mengatakan, penangkapan Haj Sakih, merupakan pukulan telak bagi para pelaku aksi penyelundupan manusia namun mereka pun telah mengubah taktik mereka.

Kalau dulu para pencari suaka yang akan diseberangkan ke Australia harus menunggu dalam waktu yang relatif lama di Indonesia, sekarang mereka cepat-cepat dibawa ke Indonesia melalui negara ketiga seperti Malaysia untuk kemudian diberangkatkan.

Bahkan, menurut Evans, beberapa di antaranya hanya menunggu beberapa jam di pantai sebelum dinaikkan ke kapal menuju perairan Australia, katanya.

Chris Evans mengatakan, meningkatkan instabilitas di Afghanistan dan Sri Lanka semakin mendorong warga di dua negara itu untuk pergi ke Australia dengan memakai jasa para penyelundup manusia.

Jumlah anak-anak yang ikut serta dalam kapal-kapal pengangkut para pencari suaka yang berhasil ditangkap aparat keamanan Australia juga meningkat, katanya.

Sebelumnya Direktur I Keamanan Trans Nasional Mabes Polri, Brigjen Badrodin Haiti, seperti dikutip jaringan media grup Fairfax Australia, mengatakan, Haj Sakih adalah gembong besar aksi penyelundupan manusia.

Warga Iran itu, katanya, memiliki koneksi dengan sejumlah aksi penyelundupan para pencari suaka warga Iran, Irak dan Afghanistan ke Australia dalam tiga tahun terakhir.

Polri sudah berulang kali berhasil menangkap gembong aksi penyelundupan manusia di Indonesia. Di antara gembong yang ditangkap Polri tahun lalu adalah Abraham Lauhenapessy alias Kapten Bram.

Kapten Bram yang sempat menjadi target operasi Australia selama lebih dari lima tahun diduga mengorganisasi dan memfasilitasi pemberangkatan 83 orang pencari suaka asal Sri Lanka ke Australia pada Februari 2007.

Sejak akhir September 2008, sudah ada lima kapal pengangkut pencari suaka yang memasuki perairan Australia.

Pada 29 September, aparat keamanan laut Australia memergoki kapal yang dinakhodai Abdul Hamid (35), warga Dompu, Bima, Nusa Tenggara Barat, bersama 12 orang pencari suka asal Iran dan Afghanistan di perairan dekat Pulau Ashmore.

Sepekan kemudian, tepatnya 6 Oktober, kapal patroli laut Australia kembali menangkap satu kapal pengangkut 14 orang pencari suaka asal Afghanistan lainnya dengan nakhoda yang juga orang Indonesia.

Kapal yang dinakhodai Amos Ndolo (58), warga Pulau Rote, Flores, Nusa Tenggara Timur, itu ditemukan saat sandar di sebuah fasilitas penyimpanan produk lepas pantai di perairan Laut Timor.

Kasus ini mengundang keprihatinan Perdana Menteri Kevin Rudd. Bahkan dia dilaporkan menelepon langsung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 8 Oktober lalu.

Daftar kasus penyelundupan manusia ke Australia bertambah panjang setelah kapal patroli angkatan lautnya menyelamatkan dua awak kapal pengangkut 10 orang pencari suaka yang karam sekitar 80 mil tenggara Pulau Ashmore 19 November.

Pada 27 November, satu kapal berpenumpang 12 orang juga diamankan aparat bea cukai negara itu di perairan Teluk Shark, Australia Barat. Mereka diduga berasal dari Sri Lanka.

Lalu, pada 2 Desember, Komando Pengamanan Perbatasan (BPC) Australia kembali berhasil menangkap sebuah kapal berpenumpang 35 orang pencari suaka di perairan dekat Pulau Ashmore, barat laut negara itu.

Seluruh penumpang dan awak kapal ditahan dan diproses di Pulau Christmas. Sejauh ini, dua orang WNI yang terlibat dalam kasus penyelundupan manusia sedang menjalani proses pengadilan di Perth, Australia Barat. Mereka adalah Abdul Hamid dan Amos Ndolo.

Berdasarkan catatan Kementerian Imigrasi dan Kewarganegaraan Australia, pada 2005, ada empat kapal dengan 11 orang pencari suaka yang masuk negara itu. Pada 2006, jumlahnya meningkat menjadi enam kapal dengan 60 orang pencari suaka, dan pada 2007, ada lima kapal dengan 148 orang penumpang.

UU Australia memberikan ancaman hukum yang berat bagi para pelaku, yakni 20 tahun penjara. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008