"Kedua regulasi ini relatif baru, sehingga kami baru melakukan sosialisasi dan FGD dengan sejumlah pihak. Hal itu bertujuan untuk mendapatkan informasi mendalam terkait kedua regulasi ini baik mengidentifikasi peluang dan tantangan untuk pelaksanaann

Pontianak (ANTARA) - Konservasi lahan perkebunan di Kalimantan Barat (Kalbar) saat ini sudah miliki dua payung hukum yakni Perda No. 6 Tahun 2018 tentang Usaha Berbasis Lahan Berkelanjutan dan Pergub No. 60 Tahun 2019 tentang Tata Cara dan Mekanisme Penetapan Areal Konservasi Dalam Pengelolaan Usaha Berbasis Lahan di tingkat Kabupaten.

"Kedua regulasi ini relatif baru, sehingga kami baru melakukan sosialisasi dan FGD dengan sejumlah pihak. Hal itu bertujuan untuk mendapatkan informasi mendalam terkait kedua regulasi ini baik mengidentifikasi peluang dan tantangan untuk pelaksanaannya di lapangan maupun menentukan langkah-langkah strategis selanjutnya, terutama untuk mendukung proses legalisasi area konservasi di kawasan konsesi," ujar Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kalbar Adi Yani, di Pontianak, Kamis.

Ia menjelaskan bahwa langkah yang ada sangat penting karena telah begitu lama keutuhan area Nilai Konservasi Tinggi (HCV) dan Stok Karbon Tinggi (HCS) yang berada di wilayah konsesi perusahaan, tumpang tindih dan rawan konflik kepentingan karena ketiadaan payung hukum yang jelas.

"Kepastian hukum tersebut sangat penting sebagai dasar untuk para pengembang membuat rencana usaha yang tidak hanya mengedepankan faktor ekonomi dan keuntungan bisnis semata. Melainkan juga membuat program konservasi yang lebih terarah dan tertata dengan baik sesuai dengan area bernilai konservasi tinggi dan mengandung stok karbon tinggi yang telah teridentifikasi," ujar dia lagi.
Baca juga: Gubernur tegaskan pentingnya program konservasi hutan

Dalam pertemuan grower dan lokakarya multipihak pada September 2019 lalu di Ketapang, telah dibahas program pengelolaan area konservasi di dalam konsesi secara kolaborasi multipihak bersama dengan para pemangku kepentingan yang lain.

"Pemangku kepentingan itu yaitu sesama perusahaan yang berbatasan, pemerintah daerah, komunitas lokal dan lembaga swadaya masyarakat di tingkat kesatuan lanskap, sehingga pengelolaannya dapat efektif dan berdampak besar dan nyata," kata dia.

Koordinator Program Lanskap, Aidenvironment Asia Marius Gunawan menjelaskan bahwa saat ini Aidenvironment telah mendorong dan memfasilitasi pendekatan kolaborasi multipihak di tingkat lanskap paling sedikit tiga lanskap di Provinsi Kalbar. Tiga lanskap tersebut yaitu Lanskap Ketapang, Lanskap Sambas, dan Lanskap Kubu Raya.

"Proses legalisasi area konservasi di Areal konsesi yang telah diinisiasi di Kabupaten Ketapang menjadi proses yang penting dan dapat menjadi contoh bagi proses serupa di lanskap-lanskap lain di Provinsi Kalimantan Barat karena kedua regulasi yang baru dikeluarkan tersebut ada di tingkat provinsi," ujar lagi.

Kabupaten Ketapang sendiri memiliki luasan 3.015.800 ha yang terdiri dari areal hutan seluas 931.137 ha, areal gambut seluas 224.536 ha, areal gambut yang hutan seluas 166.597 ha, dan Area Penggunaan Lain (APL) seluas 1.250.108 ha.
Baca juga: Orang-orang di jantung bisnis restorasi hutan

Sebagian areal penggunaan lain merupakan izin perkebunan kelapa sawit yang telah teridentifikasi areal HCV dan HCS seluas kurang lebih 68.000 ha yang setara dengan luas Kota Jakarta, Kabupaten Ketapang juga merupakan kabupaten di Indonesia yang memiliki jumlah grower kelapa sawit yang telah menjadi anggota RSPO (Roundtable for Sustainable Palm Oil) terbanyak.

Pewarta: Dedi
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2020