Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) Moh Jumhur Hidayat melalui surat elektronik di Jakarta, Kamis, mengatakan, jumlah TKI sebanyak itu menjadikan Indonesia sebagai negara terbesar dalam menempatkan tenaga kerja migran di Korsel dibandingkan asal Vietnam, Thailand, Srilanka, dan Filipina.
Jumlah TKI di Korsel yang dicapai hingga akhir November 2008 itu, kata Jumhur, berhasil melampaui batas kuota penempatan TKI sektor formal program kerja sama antarpemerintah atau "G to G" (Goverment to Goverment) di Korea Selatan.
Pemerintah Korsel, katanya, pada 2007-2008 mematok kuota 9.500 untuk TKI.
"TKI dipandang sebagai pekerja yang berperilaku baik, rajin, dan ulet sehingga membuat nyaman berbagai perusahaan Korsel yang mempekerjakan serta terus ingin menambah jumlahnya," kata Jumhur melalui surat elektronik.
Setiap TKI di Korsel, katanya, menerima gaji cukup besar berkisar Rp10 juta/bulan belum termasuk uang lembur.
Ia optimistis jumlah TKI di Korsel hingga akhir 2008 akan mencapai sekitar 12.500-13.000 orang.
"Saya yakin jumlah 12.500 atau 13.000 adalah suatu keniscayaan jika melihat besarnya minat serta perhatian Korsel terhadap TKI. BNP2TKI akan lebih proaktif agar semakin banyak calon TKI dapat bekerja di negeri ginseng itu," katanya.
Jumhur menilai peningkatan jumlah TKI di Korsel dari tahun 2006 ke tahun 2008 fantastis dan hal itu dicapai karena BNP2TKI melakukan berbagai terobosan dengan memberi kemudahan perekrutan calon TKI serta membenahi prosedur pengurusan dokumen perjanjian kerja yang diperlukan berupa Standard Labour Contract (SLC) atau standar kontrak perjanjian kerja. Dahulu, katanya, SLC diperjualbelikan oleh calo seharga Rp30-40 juta dan calon TKI sulit memperoleh SLC itu.
Ia menyatakan calon TKI di Korsel wajib bersertifikat bahasa Korea, lolos tes kesehatan, serta berpendidikan minimum SMP.
Mulai 2009, TKI yang bekerja di Korsel diberlakukan kontrak kerja selama lima tahun atau lebih panjang dari kontrak kerja sekarang yang hanya berlaku tiga tahun.
Ia menyebutkan biaya bagi setiap calon TKI ke Korsel juga tidak besar yakni cukup mempersiapkan Rp5.455.000 sebagai biaya tiket pesawat, visa, asuransi, airport tax, seragam, dan pelatihan dasar, tidak termasuk biaya paspor serta tes kesehatan.
BNP2TKI, katanya, akan memperbanyak tempat pelaksanaan tes bahasa Korea atau Korean Language Test (KLT) dari enam kota di Jakarta, Medan, Surabaya, Semarang, Mataram, dan Makassar menjadi delapan kota dengan penambahan di Bandung dan Manado.
BNP2TKI juga memberi peluang bagi lembaga swasta membuka kursus bahasa Korea untuk calon TKI, katanya. Penempatan TKI formal melalui program "G to G" ke Korsel ditangani BNP2TKI mulai Maret 2007.
Sampai akhir 2007, BNP2TKI menempatkan TKI ke negeri itu sebanyak 4.303 orang.
Sebelumnya penempatan TKI ke Korsel dilakukan Direktorat Jenderal Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri (PPTKLN) Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, berdasarkan nota kesepahaman (MoU) dengan pemerintah Korsel tahun 2004.
Peraturan di Korsel, kata Jumhur, sejauh ini membuka mekanisme perizinan bagi sebesar-besarnya tenaga kerja migran melalui Employment Permit System (EPS).
Sistem itu, katanya, otomatis memberi peluang pada 16 negara dalam kerangka "G to G" untuk melakukan penempatan tenaga kerja yang dibutuhkan pengusaha Korsel.
"Dengan diberlakukannya pola EPS, pihak manapun di luar pemerintah tidak lagi dibolehkan berperan dalam penempatan TKI di Korea," kata Jumhur.
Sebelum ada MoU antara pemerintah Indonesia dan Korsel, penempatan TKI ke Korsel dilaksanakan melalui sistem pelatihan industrial (Industrial Trainee System) yakni pemerintah Korsel menunjuk langsung perusahaan swasta dari berbagai negara termasuk Indonesia untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja di negaranya.
Jumhur mengatakan sistem pelatihan itu menimbulkan persoalan yakni meningkatnya tenaga kerja ilegal ke Korsel sehingga pemerintah Korsel kemudian mengeluarkan kebijakan penempatan tenaga kerja berdasarkan perjanjian antarnegara.
"Mudah-mudahan tahun 2009 jumlah penempatan tetap tinggi walau dunia sedang diterpa krisis keuangan," kata Jumhur. (*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008