Jakarta, (ANTARA News) - Keputusan pemerintah menurunkan kembali bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, tarif listrik, dan sejumlah bahan kebutuhan pokok harus diikuti stabilisasi rupiah sehingga sasaran menggerakkan sektor riil dapat tercapai.

"Menggerakkan sektor riil merupakan salah satu hal mendasar untuk menopang pertumbuhan ekonomi," kata pengamat ekonomi dari Universitas Gajah Mada (UGM), Sri Adiningsih, kepada ANTARA, di Jakarta, Selasa.

Sri menjelaskan, penurunan harga BBM dan listrik tidak selalu otomatis membuat sektor riil bergeliat karena komponen biaya industri juga terkait erat dengan sejumlah faktor seperti pergerakan nilai tukar, maupun sistem perpajakan.

"Nilai tukar rupiah melemah cukup dalam bisa mengakibatkan industri berbasis bahan baku impor terpukul sehingga menurunkan kapasitas produksi. Sama halnya, nilai tukar yang tidak stabil akan menyulitkan pengusaha melakukan proyeksi produksi," ujarnya.

Pada 15 Januari 2009. kembali akan menurunkan harga premium sebesar Rp500 menjadi Rp4.500. Solar turun Rp300 menjadi Rp4.500. Sedangkan minyak tanah tetap Rp2.500 per liter.

Harga premium sebelumnya sudah turun dua kali, yakni pada 1 Desember 2008 dari Rp6.000 menjadi Rp5.500 per liter dan pada 15 Desember 2008 turun kembali menjadi Rp5.000. Sedangkan harga solar baru turun satu kali, dari Rp5.500 menjadi Rp4.800 pada 15 Desember 2008.

Selain itu pemerintah juga segera menurunkan tarif dasar listrik bagi industri sektor produksi tertentu.

Menurut Sri, selain menjaga nilai tukar agar tidak terlalu tertekan, pemerintah juga harus mampu merealisasikan penurunan harga terutama barang-barang yang tidak di bawah kontrol pemerintah.

"BBM dan listrik sudah turun, tetapi pada tataran di lapangan atau di pasar harga-harga barang maupun jasa tidak turun, atau tetap pada harga sebelum ada penurunan BBM, dan listrik," ujarnya.

Secara teori diutarakan Sri, penurunan BBM otomatis akan menurunkan ongkos angkutan karena merupakan komponen dasar alat tranportasi.

Akan tetapi kenyataannnya pemerintah belum cepat dan sigap mengatur masalah penurunan tarif angkutan meskipun kewenangan penentuan tarif berada di tangan pemerintah daerah.

"Kalau besok (15 Januari) BBM turun, berarti merupakan penurunan yang ketigakalinya, tetapi realiasi penurunan tarif angkutan sama sekali belum ada," tegasnya.

Penurunan BBM diharapkan menurunkan harga barang dan jasa-jasa, namun kenyataannya sebagian besar harga komoditi di pasar tidak mengikuti.

Ada faktor lain yang mengakibatkan belum terealisasinya penurunan harga seperti distribusi produk yang tidak lancar karena rusaknya infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, termasuk juga kemungkinan masih maraknya pungutan-pungutan tidak resmi sehingga mengakibatkan ekonomi biaya tinggi.

Hal lain menjadi sorotan Sri adalah, dalam situasi tren penurunan BBM ini pemerintah juga harus menjamin bahwa daya beli masyarakat tidak menurun.

"Memelihara daya beli masyarakat bagian terpenting karena percuma harga-harga turun tetapi tidak mampu membeli," katanya.

Untuk itu ujarnya, departemen terkait bersama pemerintah agar selalu mampu mengatasi kelangkaan barang-barang terutama BBM sehingga daya beli masyarakat tidak ikut merosot.

Sementara itu Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, menyambut baik upaya pemerintah menurunkan BBM termasuk listrik.

Namun pada tataran implementasi penurunan BBM itu, khususnya pada tarif transportasi, pemerintah bisa dikatakan gagal karena tidak mampu memberi kontrol yang tegas seiring dengan menyerahkan masalah tarif ke dalam mekanisme pasar.

"Pemerintah seharusnya tidak lagi mekanisme pengaturan tarif, tetapi juga pada implementasi non tarif," ujarnya.

Menurutnya, komponen BBM dalam sektor pengangkutan atau transportasi memang besar, tetapi ada komponen lain yang juga menentukan besaran tarif antara lain infrastruktur, suku cadang alat transportasi.

"Bagaimana mungkin layanan publik bisa ditingkatkan jika pajak suku cadang masih tinggi, termasuk infrastruktur berupa jalan yang masih rusak masih belum diperbaiki," ujarnya.(*)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009