Semarang (ANTARA) - Sesuai dengan PKPU Nomor 15/2019 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Wali Kota/Wakil Wali Kota Tahun 2020, pemungutan suara pilkada serentak akan dilaksanakan pada tanggal 23 September 2020.
Jumlah fantastis, memilih secara langsung 270 kepala daerah, terdiri atas 9 provinsi, 37 kota, dan 224 kabupaten. Bandingkan dengan pilkada serentak 27 Juni 2018 untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah di 171 daerah, terdiri atas 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten.
Persoalan akan muncul manakala kalangan birokrasi ikut terlibat atau dilibatkan dalam proses pilkada. Sebagaimana diketahui, posisi birokrat sebagai aparatur sipil negara (ASN) ibarat gadis cantik yang laris manis diperebutkan pada kontestasi pilkada. Pada saat yang sama, gadis cantik nan manis ini juga “genit” menaikkan posisi tawar dengan harapan bakal calon akan mendekatinya.
Posisi ASN bisa dikatakan strategis, mengingat jumlah ASN relatif cukup banyak, di mata masyarakat diposisikan sebagai panutan dan memiliki status sosial cukup terpandang serta memiliki keluarga dan handai tolan. Sangat potensial dikaitkan dengan dukungan suara. Di samping memiliki posisi tawar cukup tinggi, ASN sebagai pelayan masyarakat bisa menjadi trendsetter bagi masyarakatnya.
Sehubungan dengan hal itu, posisi ASN perlu dicermati agar profesional, akuntabel, kapabel, dan memiliki integritas serta kredibilitas yang tinggi. Singkatnya ASN harus memiliki sikap dan perilaku serta etika birokrasi yang mulia. Fakta di lapangan, ketika musim pilkada, posisi ASN sebagai birokrasi terkesan “liar” dan tak terkendali.
Peran Birokrasi
Dalam sistem pemerintahan di Indonesia, istilah peran birokrasi sering dihubungkan dengan pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Pemerintahan yang baik memiliki indikator berkaitan erat dengan peran dan keberadaan birokrasi.
Indikator pertama, secara struktural digambarkan dengan birokrasi yang efektif dan efiesien serta fokus pada pelayanan.
Indikator kedua, secara sistemik diterjemahkan dengan kualitas birokrasi yang memiliki standar kepastian dan kemudahan serta terukur.
Indikator ketiga, secara budaya atau kultur dilukiskan dengan penampilan yang ramah, humble, dan manusiawi.
Hal ini penting mengingat peran birokrasi dalam pelayanan sekaligus berfungsi dalam penyelenggaraan pelayanan publik kepada masyarakat. Sejalan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dimaksudkan untuk memberi rasa kepastian hukum bagi pihak penyelenggara pelayanan publik maupun masyarakat.
ASN sebagai penyelenggara pelayanan publik harus merasa memiliki kewajiban hukum untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pada saat yang sama, masyarakat merasa bahwa hal tersebut harus dilakukan oleh aparatur negara merupakan hak dari masyarakat.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009, Pasal 4, dengan jelas mengamanatkan yang pertama, terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik.
Kedua, terwujudnya sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas umum tentang pemerintahan dan korporasi yang baik.
Ketiga, terpenuhinya penyelengaraan pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Keempat, terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Berdasarkan ketentuan tersebut, rasa-rasanya kesalahan besar ketika birokrasi melibatkan diri atau dilibatkan untuk kepentingan politik praktis dalam rangka kontestasi pilkada. Kenapa politik birokrasi atau politisasi birokrasi akan mengganggu dan merugikan pelayanan publik? Hal ini dikarenakan bahwa pelayanan publik merupakan kewajiban pemerintah untuk dilaksanakan sebaik-baiknya, baik dalam hal pelayanan administrasi maupun pelayanan atas barang dan jasa.
Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk tidak memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Dalam hal ini adalah kewajiban aparat penyelenggara untuk memberikan pelayanan yang terbaik. Pertanyaannya bagaimana kondisi faktual di lapangan dikaitkan dengan kontestasi pilkada.
Politik Birokrasi
Politik birokrasi atau politisasi birokrasi dikaitkan dengan profesionalisme birokrasi itu sendiri ada beberapa hal yang pantas dicermati.
Pertama, merujuk UU No. 10/2016, terutama Pasal 71 Ayat (2) dan Ayat (4) serta Pasal 162 Ayat (3). Pada tanggal 22 September 2016 terbitlah Permendagri Nomor 73 Tahun 2016 tentang Pendelegasian Wewenang Penandatanganan Persetujuan Tertulis untuk Melakukan Penggantian Pejabat di Lingkungan Pemerintah Daerah.
Dalam permendagri itu ditegaskan bahwa gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan, kecuali mendapat persetujuan tertulis dari menteri.
Pasal 2 Ayat (2) Permendagri tersebut menyebutkan bahwa gubernur, bupati, atau wali kota yang akan melakukan penggantian pejabat di lingkungan pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota, dalam jangka waktu 6 bulan terhitung sejak tanggal pelantikan harus mendapat persetujuan tertulis dari menteri.
Jelas sekali dari regulasi Permendagri Nomor 73/2016, kepala daerah, baik gubernur, bupati, maupun wali kota, enam bulan sebelum habis masa jabatan dan 6 bulan terhitung sejak tanggal pelantikan harus mendapat persetujuan tertulis dari menteri, tidak melakukan mutasi pejabat. Filosofi permendagri ini jelas bahwa kepala daerah tidak memanfaatkan untuk kepentingan politik dirinya.
Kedua, di kalangan birokrasi sendiri, terutama yang memiliki jabatan tinggi, tergiur untuk ikut ambil bagian menjadi bakal calon dalam kontestasi pilkada. Langkah ini diakui atau tidak diakui mencederai profesinya sebagai ASN. Kenapa? Karena pindah jalur dari jalur karier ke jalur politik. Mestinya ada jeda, artinya posisi sudah tidak lagi sebagai ASN, bukan baru mengundurkan diri sebagai ASN.
Implikasi majunya dari jalur birokrasi yang dilakukan pejabat aktif akan memengaruhi dinamika ASN lainnya, baik ke internal birokrasi maupun ke eksternal. Dinamika internal akan terganggu di kalangan birokrasi dan dinamika eksternal akan memengaruhi pelayanan publik bisa jadi terganggu.
Ketiga, justru petahana yang mengajak birokrat untuk menjadi wakilnya dalam kontestasi pilkada, serta menggalang birokrasi sebagai tim sukses. Langkah ini sedikit banyak akan memengaruhi kontelasi birokrasi yang ujung-ujungnya memecah belah birokrasi itu sendiri. Sangat disayangkan karena menggangu profesionalisme bagi birokrat yang masih aktif sebagai ASN.
Keempat, ada sebagian kalangan birokrasi yang aktif untuk mendukung baik ke petahana atau kandidat lain dengan harapan kelak ketika calonnya menang kontestasi ada perubahan nasib yang lebih baik. Maka, di sini muncul istilah “balas budi politik” dan “dendam politik” di kalangan birokrasi. Ketika birokrasi tidak netral dan jagonya kalah, masuk kategori “dendam politik”, habislah karier sebagai ASN.
Sebaliknya, ketika jagonya menang ada peluang memperoleh jabatan yang diincar walau tidak memiliki kompetensi dan kapasitas, kategori “balas budi politik”.
Sepanjang jumlah jabatan yang tersedia tidak seimbang dengan jumlah peminat jabatan, praktik-praktik spekulasi dengan mengorbankan profesional sebagai ASN akan tergiur juga.
Dilematis, tidak ikut arah angin, bisa tidak kebagian jabatan, atau jabatan yang sekarang akan terampas. Bahkan, merasa jabatan yang sekarang masih kalah gengsi atau kalah “basah” akan merangsang untuk spekulasi menjadi tim sukses bayangan. Mereka berharap akan memperoleh jabatan yang lebih menjanjikan.
Tiga kata kunci, politicization, bureaucracy, civil servants mobilization atau politisasi, birokrasi, dan pelayanan publik.
*) Drs. Pudjo Rahayu Rizan, M.Si., lulusan Magister Administrasi Publik Undip, pengajar tidak tetap STIE Semarang dan STIE BPD Jateng.
Copyright © ANTARA 2020