Jakarta (ANTARA) - Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mewakili elemen buruh dan pekerja di seluruh Indonesia khawatir adanya rasionalisasi tenaga kerja dengan sistem fleksibel dalam Rancangan Undang-Undang Omnibus Law.
"Mereka menyebut fleksibel, fleksibilitas hubungan kerja. Konsekuensi dari kata fleksibel, artinya tidak jelas. Bagaimana tentang hak-hak pekerjanya? Itu satu (kekhawatiran)," kata Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Riden Hatam Aziz kepada ANTARA saat demo buruh di depan Kompleks Parlemen RI Senayan Jakarta, Senin.
Ia menambahkan dengan hubungan kerja yang fleksibel, maka sistem pengupahan akan dihitung per jam. "Lalu, bagaimana sistem perhitungannya?" kata Riden.
Ia kemudian teringat kepada aturan tenaga kerja alih daya (outsourcing) yang ditolak oleh Serikat Pekerja karena dinilai merugikan para pekerja di Indonesia.
"Apa artinya kita bekerja kalau kita miskin? Apa artinya kita bekerja kalau tidak ada masa depan? Buat apa kita mempekerjakan anak hingga 12 tahun bahkan 20 tahun, hak-haknya tidak diperhatikan ketika masuk masa bekerja," kata Riden.
Riden menjelaskan kalau pekerja berstatus seperti itu, yang dulu pernah ditentang oleh Serikat Pekerja, maka pekerja akan kehilangan hak-haknya memperoleh kesejahteraan pekerja umumnya, di antaranya sebagai berikut:
1. Upah tidak jelas
2. Waktu bekerja tidak jelas
3. Tidak mendapatkan tunjangan hari raya dan tunjangan kesejahteraan lainnya
"Tapi pemerintah tetap memaksakan. Apa faktanya sekarang, anda cek. Silakan tanya kepada mereka yang bekerja dengan status outsourcing," kata Riden.
Di antaranya ada yang berdemo di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Lampung, Bengkulu, Gorontalo, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, mereka semua kata Riden turun dengan membawa isu yang sama.
"Kami menuntut agar kami dilibatkan, kalau bicara Konfederasi ada 8 (organisasi serikat pekerja), tapi secara federasi serikat pekerja saya rasa banyak sekali, hampir puluhan. Kami tadi diterima oleh Pimpinan DPR RI, ada Bapak Sufmi Dasco (Wakil Ketua DPR RI). Mereka mengatakan delapan ini akan dilibatkan semua," kata Riden.
Kata fleksibel yang dimaksud Sekjen FSPMI Riden Hatam Aziz pernah dicetuskan mantan Menteri Ketenagakerjaan di era Kabinet Kerja Hanif Dhakiri.
Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu selalu mengatakan salah satu permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia adalah ekosistemnya yang terlalu kaku, maka ia berharap menteri selanjutnya dapat mewujudkan ekosistem kerja Indonesia menjadi lebih fleksibel.
"Ekosistem kerja di Indonesia terlalu kaku, misalnya tentang jam kerja yaitu delapan jam sehari dan 40 jam seminggu," kata Hanif saat Rapat Koordinasi Ketenagakerjaan di Jakarta, Selasa (8/1/2019).
Untuk itu menurut dia, Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 perlu dikaji kembali agar dapat menciptakan ekosistem kerja yang lebih fleksibel sehingga dapat meningkatkan partisipasi angkatan kerja perempuan.
Namun ia memastikan pekerja dengan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak tetap mendapatkan hak dan pelindungan yang sama dengan pekerja tetap atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
Terkait isu yang beredar soal Serikat Pekerja/ Serikat Buruh tidak dilibatkan dalam dialog perumusan Omnibus Law itu dan hanya dari pengusaha saja yang dilibatkan, Menaker Ida menegaskan hal itu mutlak tidak benar.
"Tentu kami mendengarkan masukan dari unsur Tripartit Nasional yang terdiri dari unsur pekerja, pengusaha dan pemerintah," kata Menaker Ida.
Baca juga: Enggan revisi UMK 2020, Ridwan Kamil: Demo mah pasti ada
Baca juga: Enam alasan serikat pekerja tolak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja
Baca juga: Soal Omnibus Law, elemen buruh teringat aturan "outsourcing"
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2020