Pontianak (ANTARA) - Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik, Sofyano Zakaria menyatakan, adanya rencana distribusi elpiji secara tertutup oleh pemerintah harus direncanakan secermat mungkin dan tidak terkesan terburu-buru.
"Jangan sampai rencana itu malah menimbulkan 'panic buying' yang akhirnya akan menimbulkan masalah baru bagi pemerintah," kata Sofyano Zakaria dalam keterangan tertulisnya kepada Antara di Pontianak, Senin.
Apalagi, menurut dia, distribusi tertutup elpiji subsidi sudah pernah dilakukan di Malang, Bali, Tarakan, Batam, Gunung Kidul namun tidak diketahui keberhasilannya dan hingga saat ini distribusi masih dijalankan secara terbuka seperti di daerah lainnya.
Baca juga: Luhut tanggapi singkat rencana pencabutan subsidi elpiji
"Distribusi elpiji subsidi tidak bisa dikatakan tidak tepat sasaran karena tidak ada peraturan pemerintah yang tegas dan jelas terkait siapa pengguna yang berhak, dan juga tidak ada sanksi hukum terhadap pelanggarannya," ujarnya.
Melakukan distribusi tertutup dan mengalihkan subsidi kepada orang langsung untuk tujuan mengurangi beban pemerintah atas subsidi, harusnya dilakukan secara adil karena pemerintah tidak melakukan hal yang sama, misalnya terhadap BBM solar subsidi yang ternyata nyaris bisa dibeli bebas oleh siapapun.
"Jika pemerintah yakin bisa mengalihkan subsidi elpiji kepada orang langsung, maka harusnya ini juga bisa dilakukan kepada solar subsidi yang pada nyatanya pembeli dan penggunanya adalah kendaraan berbahan bakar solar dan hal ini bisa menimbulkan rasa ketidakadilan bagi masyarakat," katanya.
Baca juga: Mulai semester II-2020, Pemerintah hentikan subsidi elpiji 3 kg
Terus membengkaknya subsidi elpiji tidak semata disebabkan oleh pengguna tidak tepat sasaran, tapi juga bisa disebabkan naiknya harga elpiji dunia, sementara HET elpiji subsidi tidak pernak dikoreksi sejak program konversi minyak tanah ke elpiji dijalankan sejak tahun 2007, yakni sebesar Rp4.250 ribu/kilogram.
"Jika pemerintah berkeberanian mengkoreksi HET elpiji subsidi sebesar Rp5.000/kilogram maka berpotensi menghemat subsidi sekitar Rp34,5 triliun, jika kuota elpiji rata-rata 6,9 miliar kilogram per tahun," ungkapnya.
Pada dasarnya masyarakat sudah terbiasa membeli elpiji subsidi jauh diatas ketentuan HET para bupati atau walikota, dan masyarakat nyaris tidak komplain soal harga tapi akan bereaksi keras jika elpiji langka. "Karena itulah harusnya pemerintah mengkaji hal ini," katanya
Menurut dia, dengan sudah terbiasanya masyarakat membeli elpiji subsidi jauh di atas HET lewat peran pengecer harusnya ini bisa dijadikan pertimbangan untuk mengkoreksi HET yang ada, namun pemerintah harus menjamin bahwa akan terjadi elpiji satu harga diseluruh pelosok negeri.
"Untuk membuat dan menjamin terwujudnya elpiji satu harga, maka peran pengecer elpiji yang ada selama ini harus ditetapkan sebagai mata rantai distribusi dengan menjadikannya sebagai sub pangkalan dan harus ada disetiap RT, dan nantinya ini harus dibina dan diawasi penuh oleh pemerintah daerah," kata Sofyano.
Pewarta: Andilala
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2020