Jakarta (ANTARA) - Pengamat sektor kelautan dan perikanan Abdul Halim mengingatkan bahayanya pembangunan properti di kawasan pesisir hingga ke tepi sungai di berbagai titik di wilayah DKI Jakarta yang sebenarnya efektif sebagai daerah resapan air ibukota.

Abdul Halim kepada Antara, Senin, menyatakan hal itu juga terkait dengan adanya perbedaan antara solusi terkait banjir di Belanda dan Indonesia sehubungan pengelolaan wilayah pesisir masing-masing.

"Penataan kota di Belanda disesuaikan dengan pengelolaan daerah aliran airnya, sementara Jakarta dan daerah pendukungnya, yaitu Bodetabek, justru membangun kotanya dengan melakukan perubahan terhadap daerah aliran airnya," katanya.

Baca juga: Permukaan tanah Jakarta Utara turun 11 cm per tahun

Abdul Halim yang menjabat sebagai Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan menyatakan, hal itu mengakibatkan misalnya luas sungai menyempit.

Selain itu, ujar dia, kerap ada wilayah pesisir yang direklamasi untuk kepentingan properti, dan hulunya dibangun vila atau perumahan.

"Daerah tangkapan/resapan air di Jakarta sudah berubah menjadi hutan beton yang dialokasikan untuk keperluan pembangunan perumahan, mal, hotel, pabrik," kata Abdul Halim.

Ia menegaskan, hal strategis yang perlu dilakukan adalah melindungi daerah tangkapan/resapan air yang masih tersisa agar tidak dialihfungsikan, serta mengembalikan fungsi daerah aliran sungai dari hulu ke hilir sebagaimana mestinya.

Kemudian, Pemprov DKI dinila perlu memperbanyak sumur resapan di daerah-daerah resapan air yang telah berubah fungsi, dibantu warga dengan cara membuat lubang biopori, dan mengurangi dan mengelola sampahnya sejak level rumah tangga, terutama sampah anorganik.

Baca juga: Gerakan satu juta pohon pulihkan resapan air Jaksel

Sebelumnya, Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan bahwa muka air laut di Jakarta Utara berada 1,5 meter di atas permukaan tanah.

"Bicara intrusi air laut itu, kita bicara bagaimana satu lapisan air yang datang dari (wilayah Jakarta) selatan ke utara, yang kemudian dari utara bertemu dengan air laut," kata Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rudy Suhendar di Jakarta, Sabtu (2/11).

Manakala tekanan yang selatannya sudah berkurang karena sudah diambil maka dia akan menekan. "Nah, karakteristik dari lapisan-lapisan batuan di Jakarta itu sendiri terdiri dari beberapa lapis yang memungkinkan terjadinya intrusi," katanya.

Kenaikan permukaan air laut tersebut memiliki dua kemungkinan, apakah tanah Jakarta yang mengalami penurunan atau volume air laut yang semakin tinggi.

Pemanfaatan air tanah secara berlebihan di wilayah Jakarta menjadi salah satu penyumbang terjadinya penurunan tanah (land subsidence) dan intrusi air laut. Intrusi air laut terjadi karena menyusupnya air laut ke dalam pori-pori batuan, mengganti air tawar dan mencemari air tanah yang terkandung di dalamnya.

Lebih lanjut Rudi menjelaskan bahwa intrusi air laut dapat terjadi akibat naiknya batas antara permukaan air tanah dengan permukaan air laut ke arah daratan dikarenakan perbedaan tekanan air tanah dengan air laut dan adanya karakteristik lapisan-lapisan batuan.

Saat ini di wilayah Jakarta Bagian Utara, muka air laut sudah mencapai 1,5 meter di atas permukaan tanah Jakarta Utara.

"Di Jakarta Utara bukan berarti tanah disana turun 1,5 meter, bisa juga air lautnya yang naik, jadi saling mendukung di situ," ujarnya.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, pemerintah melakukan berbagai langkah untuk mengurangi dampak penurunan air tanah dan intrusi air laut, seperti dengan membangun beberapa tanggul untuk mencegah air laut masuk ke daratan, pengendalian dari pengaruh manusia terhadap laju penurunan permukaan tanah dengan memperhatikan tumpuan atau pondasi yang harus berada di atas batuan keras, baik itu bangunan berupa gedung, jembatan, dan lainnya.

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2020