Jakarta (ANTARA News) - Belum lama para petani sawit dan produsen "crude palm oil" (CPO) menikmati keuntungan karena harga produk perkebunan tersebut melambung seiring melonjaknya permintaan akibat naiknya harga minyak mentah dunia.
Harga CPO sempat menembus angka 1.300 AS dolar per ton saat harga minyak mentah dunia menembus angka 140 AS dolar per barel. Namun pada akhirnya harga CPO jatuh seiring turunnya harga minyak mentah dunia yang mencapai 51 AS dolar per barel.
Penurunan drastis ini membuat para petani kelapa sawit terpukul. Tidak sedikit dari mereka membiarkan tandan buah segar (TBS) kelapa sawit yang siap dipanen membusuk di pohon karena harga jual yang terlalu rendah, yang membuat petani merugi dan tidak dapat menutupi biaya produksi.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Akmaluddin Hasibuan mengatakan harga CPO yang sempat mencapai 1.300 AS dolar per ton bukan harga yang wajar.
Jika dilihat dari sejarah, harga CPO mengalami kenaikan drastis saat perang teluk terjadi tahun 1992, krisis moneter Asia tahun 1998, dan kenaikan harga minyak mentah dunia tahun 2007-2008, ujar dia.
Saat ini harga CPO jatuh karena variabel utama minyak mentah dunia turun. Dengan harga minyak bumi yang sempat mencapai 51 AS dolar per barel, secara otomatis permintaan CPO dunia pun turun.
"Harga yang wajar itu sebenarnya 600 AS dolar per ton," ujar dia.
Lebih lanjut, dia mengatakan, prospek pemanfaatan kelapa sawit untuk menggantikan minyak bumi di masa depan semakin besar dan tidak dapat terhindarkan. Namun demikian, kenaikan harga kelapa sawit bukan hanya karena adanya permintaan saja, tetapi lebih karena kebutuhan energi.
Untuk menjaga agar harga jual CPO tidak jatuh terlalu dalam seperti beberapa waktu lalu yang hanya mencapai kisaran 385 AS dolar per ton maka perlu ada manajemen suplai, ujar dia.
Tentu manajemen suplai menjadi semacam keran untuk dapat mengontrol jumlah CPO di pasaran, sehingga harga dapat dikendalikan dan tidak terlalu jatuh. Paling tidak petani sawit terlindungi dan terhindar dari belitan hutang yang terkadang harus mereka pinjam sebagai biaya perawatan sawit.
Langkah lain yang perlu dilakukan agar harga jual CPO yang wajar dapat tercipta, menurut Akmaluddin, adalah dengan cara mengangkat "demand" di dalam negeri. Dengan adanya penyerapan yang lebih banyak di dalam negeri tentu harga jual CPO dapat terangkat, baik produsen hingga petani sawit akan tertolong.
Hal terakhir yang juga dapat dilakukan untuk menciptakan harga CPO yang wajar adalah dengan melakukan peremajaan perkebunan. Peremajaan pohon kelapa sawit perlu dilakukan agar produksi TBS tetap terjaga.
35 persen tua
Perkebunan kelapa sawit di Indonesia memang terbagi atas tiga kepemilikan. Rakyat memiliki 35 persen perkebunan sawit, swasta memiliki 55 persen areal perkebunan sawit, sedangkan sisanya adalah milik pemerintah.
Dari total perkebunan sawit yang ada di Indonesia, sekitar 50 persen merupakan perkebunan tua yang dibuka pada era Orde Baru sekitar tahun 1981 hingga 1983. Dalam hal ini justru perkebunan tua terluas adalah milik rakyat.
"Kita butuh dana sebesar Rp30 juta untuk melakukan peremajaan di setiap hektarnya. Artinya kita membutuhkan Rp30 triliun untuk melakukan peremajaan di lahan sawit seluas satu juta hektar," kata Akmaluddin.
Menurut dia, saat ini 50 persen CPO dunia memang berasal dari Indonesia. Sedangkan produksi CPO Indonesia sendiri mencapai 25 persen dari total produksi dunia.
Namun, posisi tersebut dapat tergeser dengan cepat jika peremajaan perkebunan kelapa sawit tidak segera dilaksanakan, katanya. Gapki sendiri telah meminta pemerintah untuk mempercepat peremajaan perkebunan kelapa sawit milik rakyat pada tahun 2006 lalu.
"Normalnya satu hektar perkebunan sawit mampu menghasilkan 15 sampai 20 ton TBS. Tapi sekarang perkebunan rakyat yang sudah tua itu hanya mampu memproduksi lima ton per hektarnya," ujar dia.
Akmaluddin menambahkan perkebunan sawit milik swasta pada umumnya merupakan perkebunan baru, karena itu produksinya pun masih bagus mencapai 18 hingga 30 ton TBS per hektarnya. Beberapa perkebunan kelapa sawit milik pemerintah pun telah mengalami peremajaan dan produksinya cukup baik, namun tidak bisa dipungkiri ada perkebunan milik pemerintah yang tidak bisa bertahan karena terlambat dilakukan peremajaan.
Sementara itu, menurut Ketua Harian Gapki Derom Bangun, saat ini merupakan waktu yang paling tepat untuk mulai melakukan peremajaan dengan menanam kelapa sawit.
Derom mengatakan saat harga komoditas sawit mengalami penurunan tentu dana yang diperlukan untuk melakukan peremajaan tanaman sawit menjadi lebih sedikit.
Namun dia mengakui masalah likuiditas memang menjadi halangan terutama di saat krisis keuangan terjadi. Sementara pihak perbankan sendiri akan semakin memperketat pembiayaan untuk membatasi kemungkinan adanya "non performing loan" (NPL).
Masalah likuiditas ini tampaknya tidak menjadi halangan bagi Malaysia untuk melakukan peremajaan di perkebunan seluas 200.000 hektar. Menurut Akmaluddin, para pengusaha sawit di negeri jiran tersebut menyisihkan sekitar 14 ringgit Malaysia per ton untuk peremajaan, sehingga tidak perlu mengambil dari pajak ekspor lagi.
Tak terprediksi
Mungkin para petani sawit bertanya-tanya bagaimana harga sawit di tahun 2009 nanti. Apakah harga akan kembali naik atau justru semakin terpuruk karena permintaan minyak bumi akan semakin berkurang.
Derom mengatakan para analis pasar pun kesulitan untuk memproyeksikan berapa produksi CPO dunia serta harga CPO dunia pada tahun 2009 nanti.
"Ini memperlihatkan bahwa pasar sedang menghadapi banyak faktor yang sulit diduga. Mudah-mudahan dengan banyaknya analis yang akan hadir pada IPOC (Indonesian Palm Oil Conference) 2008 dan `Price Outlook 2009` di Bali, akan ada gambaran seperti apa CPO nanti," ujar dia.
Namun, Akmaluddin memprediksi harga CPO akan berada dikisaran 518 AS dolar per ton, dengan produksi mencapai 19,5 hingga 20 juta ton. Ekspor diperkirakan akan sedikit mengalami penurunan karena mandatori yang dikeluarkan pemerintah mengharuskan penggunaan lima persen biodiesel dari sawit.
Jika sejak tahun 2006 pengusaha dan petani sawit mulai merasakan kenikmatan menanam dan memproduksi sawit karena harganya yang tinggi di pasaran akibat terkatrol kenaikan harga minyak mentah dunia, maka di semester kedua tahun 2008 ini mereka harus menghadapi kenyataan anjloknya harga komoditas termasuk sawit.
Krisis keuangan global yang berdampak pada resesi di beberapa negara seperti Jerman dan Jepang dipastikan akan semakin memberatkan para petani sawit. Dunia mulai mengurangi konsumsi minyak dan OPEC segera akan mengurangi produksinya hingga satu juta barel per hari.
Ini berarti harga CPO sangat mungkin turun mengikuti turunnya harga minyak dunia. Tekanan dari sektor lingkungan akan semakin menurunkan permintaan CPO di tanah air.
Mudah-mudahan kebijakan pemerintah pusat untuk meniadakan Pajak Ekspor (PE) CPO dan meningkatkan penyerapan CPO untuk keperluan biodiesel tanah air tahun 2009 nanti dapat menciptakan harga yang diharapkan petani.(*)
Oleh oleh Virna Puspa Setyorini
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008