Jakarta (ANTARA News) - Mantan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie berpendapat, dinasti dalam kepemimpinan nasional sudah lewat dan tidak tepat lagi diterapkan.
"Dinasti dalam kepemimpinan tidak tepat lagi, masanya sudah lewat. Sekarang ini, siapa saja yang terbaik, tanpa melihat faktor SARA dan usia, berhak menjadi pemimpin bangsa," katanya dalam acara Diskusi Bersama Prof Dr Ing BJ Habibie bertema "Apa Yang Masih Salah dengan Bangsa Kita?" di Jakarta, Jumat.
Acara tersebut berlangsung di Auditorium Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina, dengan moderator Rektor Universitas Paramadina, Anies Baswedan, yang juga dikenal sebagai pengamat politik.
Menurut dia, terpilihnya Barack Obama sebagai Presiden Amerika Serikat akan membawa pengaruh besar bagi banyak negara, termasuk Indonesia.
Ia mengharapkan, Indonesia juga bisa belajar dari pengalaman pemilihan presiden yang terjadi di AS.
Obama, katanya, bukanlah keturunan orang kaya, berasal dari kelompok minoritas, berkulit hitam, serta bukan dari dinasti keturunan presiden sebelumnya.
"Obama muncul dari bawah. Tetapi yang menentukan adalah gagasan-gagasan dan pemikirannya. Usia tidak menentukan lagi. Obama memiliki wawasan sesuai dengan zamannya, sedangkan saingannya, Mc Cain dinilai masih berwawasan masa lalu," katanya.
Presiden RI ketiga itu mengatakan, pembiayaan kampanye Obama dengan latar belakang yang bukan dari kalangan kaya itu juga perlu dipelajari, karena kabarnya mayoritas dana kampanyenya berasal dari sumbangan masyarakat luas yang bersimpati kepadanya.
Di Indonesia, kata Habibie yang didampingi Ibu Ainun Habibie itu, ada selusinan kader terbaik yang ada di partai maupun di luar partai, namun tidak berpeluang maju menjadi calon presiden karena terhambat peraturan perundangan.
"Buatlah sistem agar mereka bisa memiliki peluang untuk dicalonkan. Peraturan perundangan itu kan bisa diubah asal ada kemauan," tegasnya.
<b>Ceritakan pengalaman</b>
Dalam acara tersebut, Habibie banyak menceritakan pengalamannya dan menekankan pentingnya seorang pemimpin bangsa memiliki keseimbangan antara iman dan taqwa (Imtaq) serta penguasaan yang cukup terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek).
Penulis buku "Detik-Detik yang Menentukan" itu juga memaparkan bagaimana dirinya yang merupakan seorang pakar di bidang kedirgantaraan -- setelah menerima tugas sebagai Presiden menggantikan Soeharto -- mampu bekerja keras dan lambat lain berhasil mengatasi krisis ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1997-1998.
"Pemerintah sekarang ini juga harus mampu memanfaatkan semua peluang yang ada untuk bangkit dan keluar dari krisis global yang melanda hampir semua negara," katanya.
Habibie juga bercerita bagaimana dirinya terlibat membantu Presiden Soeharto sejak Kabinet Pembangunan II (sebagai penasihat presiden) dan Kabinet Pembangunan III sampai VI sebagai menteri dan di Kabinet Pembangunan VII sebagai wapres.
Ia mengaku dekat dan sangat menghormati mantan Presiden Soeharto, meski sejak dilantik menggantikannya hingga wafat, dirinya tidak pernah lagi berbicara dengan (alm) Soeharto.
Kepada para peserta diskusi yang mayoritas adalah mahasiswa, Habibie yang seringkali menekankan pentingnya memiliki Imtaq dan penguasaan Iptek itu juga menceritakan perjuangan dan tekad kerasnya mempelajari ilmu kedirgantaraan di Jerman hingga meraih gelar S-3 di usia 28 tahun, meski sejak sejak usia 13 tahun, ayahnya telah meninggal dunia. (*)
Copyright © ANTARA 2008