Padang (ANTARA News) - Guru besar (Gubes) tetap Unand bidang ilmu hukum pidana, Prof Dr Elwi Danil SH, MH menyatakan korupsi juga merupakan pelanggaran HAM yakni hak seluruh rakyat/hak asasi komunitas, sehingga penerapan sistem pembalikkan beban pembuktian perlu ditempatkan dalam keseimbangan antara kedua hak itu.

"Keseimbangan itu menjadi tanggungjawab berat bagi pembuat kebijakan dan pembuat UU untuk menetapkannya secara tepat antara kepentingan individual dan kepentingan komunitas," katanya di Padang, Kamis.

Ia menyampaikan itu bagian dari pidato pengukuhannya sebagai Gubes tetap, dengan tema "Implikasi HAM Penerapan Sistem Pembalikkan Beban Pembuktian dalam Perkara Korupsi".

Menurut dia, keseimbangan itu telah diterapkan dalam semua dekalarasi HAM, seperti deklarasi Amerika Serikat 1948 mengenai hak dan kewajiban orang adalah yang menyatakan dengan jelas "hak asasi seseorang dibatasi oleh HAM orang lain.

"HAM, sering didefinisikan sebagai hak-hak yang demikian melekat pada sifat manusia, sehingga tanpa hak-hak tersebut orang tidak mungkin mempunyai martabat sebagai manusia," katanya.

Karenanya, hak itu tidak dapat dicabut dan tidak boleh dilanggar karena meliputi dalam arti politik, ekonomi dan hukum.

Artinya, katanya lagi, berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku bagi tersangka/terdakwa dalam proses peradilan pidana, hak asasi itu tetap mendapat tempat dan dijamin oleh hukum.

"Ini diatur dalam asas praduga tidak bersalah," kata Elwi yang memiliki dengan 44 publikasi ilmiah, enam penelitian hukum itu.

Terkait implikasi HAM Penerapan Sistem Pembalikkan Beban Pembuktian dalam Perkara Korupsi", ia menjelaskan, bahwa sistem pembalikkan beban pembuktian telah sejak lama diterapkan di berbagai negara sebagai `lex specialis di Singapura dan Malaysia.

Pada 1997 Malaysia melakukan pembaruan akta pencegahan Rasuah, dengan berlakunya `anti corruption Act 1997 (Act 575).

Sementara itu, sistem pembalikan beban pembuktian dalam bentuknya yang murni dikenal dengan istilah `reversalof the burden of proof` atau "omkering van de bewijslast" belum mendapat tempat yang memadai dalam kebijakan perundang-undangan di Indonesia.

"Kendati pertumbuhan tindak pidana korupsi diakui sudah sedemikian parah, namun pembuat Undang-undang nampaknya masih ragu-ragu dalam mengimplementasikan sistem tersebut," katanya karena alasannya selalu untuk menghindari penyimpangan yang terlalu jauh dari asas-asas umum hukum pidana.

Sedangkan penyimpangan asas itu sendiri dipahami sebagai pelanggaran HAM, padahal penerapan sistem tersebut bukan tanpa dasar yang kuat.

Artinya penerapan sistem pembalikkan beban pembuktian memiliki dasar pembenaran yakni, mengingat sifat beratnya kejahatan korupsi itu sendiri yang dianggap sebagai "extra ordinary crime" , untuk menangggulanginya dengan sarana penal adalah wajar untuk diterapkan `extra ordinary instrument", yakni menggunakan sistem pembalikan beban pembuktian.

Dalam hal ini, sistem pembalikkan beban pembuktian atau disebut sebagai suatu sistem yang meletakkan beban pembuktian di tangan terdakwa untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan padanya.

"Jika terdakwa tidak berhasil membuktikan dirinya tidak bersalah, maka ia dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana dan penuntut umum dibebaskan dari kewajiban pembuktian," kata Elwi juga Dekan Fakultas Hukum Unand itu.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008