"Kalau jumlah TPPO di Indonesia meningkat, tapi kalau untuk Bali saya tidak hafal secara pasti jumlahnya tapi karena ini daerah pariwisata untuk skala Nasional dan Internasional, tentu Bali bisa menjadi daerah tujuan tapi juga bisa daerah sumber adanya TPPO," kata Vennetia Danes, di salah satu acara seminar di Denpasar, Kamis.
Ia mengatakan dari data yang tercantum dalam Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) bahwa sindikat perdagangan perempuan dan anak meraup keuntungan 7 miliar dolar AS setiap tahun dari sekitar 2 juta orang orang yang diperdagangkan setiap tahunnya.
Sementara di Indonesia diperkirakan sekitar 40.000 sampai 70.000 perempuan dan anak yang menjadi korban TPPO setiap tahunnya. Ia mengatakan besarnya korban TPPO dari Indonesia disebabkan posisi Indonesia yang dijadikan sumber atau asal perdagangan orang ke luar negeri khususnya untuk tujuan Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam Taiwan, Jepang, Hongkong, Timur Tengah dan beberapa negara di Eropa.
Baca juga: Kawin kontrak jadi modus baru perdagangan orang di Indonesia
Baca juga: Warga Aceh Utara laporkan kehilangan anaknya di Malaysia
Baca juga: Polisi kembangkan kasus perdagangan orang libatkan istri pejabat
Ia menjelaskan bahwa dalam perkembangannya saat ini Indonesia juga menjadi negara tujuan perdagangan orang yang berasal dari Cina, Taiwan, Hongkong, Uzbekistan, Ukraina dan beberapa negara lainnya khususnya untuk tujuan eksploitasi seksual.
"Jadi mereka datang ke Indonesia karena dalam TPPO dikenal dengan istilah daerah sumber atau daerah asal korban, dan daerah transit atau daerah tempat korban ditampung atau mungkin ditahan untuk jangka waktu tertentu," katanya saat membacakan sambutan Menteri PPPA RI, I Gusti Ayu Bintang Darmavati.
Selain itu, sasaran dari TPPO ini bisa menimpa semua kalangan, baik orang dewasa, anak-anak, laki - laki atau perempuan, dari usia 15 tahun.
Pada umumnya yang menjadi korban adalah seseorang yang sedang berada dalam kondisi rentan seperti yang berasal dari keluarga kurang mampu, dan berpendidikan terbatas, anak yang putus sekolah atau mereka yang mendapat tekanan dari orang tuanya untuk bekerja.
"Jika dikerucutkan maka yang paling rentan mengalami ini adalah perempuan dan anak. Itulah mengapa penting sekali melibatkan anak dalam upaya pencegahan karena anak adalah kelompok yang unik yang mempunyai kekuatan dan bisa menjadi pelopor dan pelapor di kalangan anak-anak," ucapnya.
Baca juga: KBRI Beijing pulangkan 40 korban kasus pengantin pesanan
Baca juga: Ditjen Imigrasi selamatkan 6.941 WNI dari potensi perdagangan orang
Baca juga: Polres Cianjur menangkap empat orang diduga muncikari
Terkait dengan TPPO, Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan sesuai dengan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Ia menjelaskan yang harus diperhatikan tentang TPPO, yaitu, pertama, unsur yang menjelaskan adanya pihak yang merekrut atau mengangkut atau memindahkan atau menyembunyikan dan atau menerima.
Kedua, unsur cara yang dimaksud adalah cara mengendalikan korban seperti penggunaan ancaman atau penggunaan paksaan berbagai bentuk kekerasan penculikan penipuan penjeratan utang piutang dan lain sebagainya.
Ketiga, unsur tujuan yang dalam hal ini untuk tujuan eksploitasi dalam bentuk seksual kerja paksa perbudakan lain dan pengambilan organ tubuh.
"Ketiga unsur tersebut terpenuhi maka hal itu bisa disebut sebagai tindak pidana perdagangan orang kecuali untuk kasus-kasus anak kita akan mengabaikan unsur cara, apabila unsur proses dan unsur tujuan terpenuhi maka sudah bisa disebut sebagai TPPO bagi kasus anak," katanya.*
Baca juga: Polisi bongkar sindikat perdagangan orang di Medan
Baca juga: DFW dorong korban kerja paksa sektor perikanan melapor
Baca juga: Polsek Bengkalis ringkus perempuan terlibat perdagangan orang
Pewarta: Ayu Khania Pranishita
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020