Brisbane (ANTARA News) - Indonesia dan Australia sudah saatnya melahirkan para Indonesianis muda karena populasi Indonesianis yang kini ada di Australia umumnya sudah memasuki usia 50-an tahun padahal peran mereka sangat strategis dalam membangun hubungan kedua negara, kata seorang pejabat Diknas RI."Jika kita tidak melakukannya, kita menempatkan kepentingan hubungan bilateral pada risiko yang tinggi. `Misperception` (mispersepsi) dan `negative stereotyping` (stereotip) akan terus terjadi," kata Kabiro Perencanaan dan Kerja Sama Luar Negeri Diknas RI, Dr.R.Agus Sartono,MBA dalam penjelasannya kepada ANTARA News, Rabu.Menurut mantan Atase Pendidikan dan Kebudayaan RI di KBRI Canberra itu, upaya melahirkan para Indonesianis muda itu menjadi bagian dari kepentingan hubungan kedua bangsa melalui kerja sama pendidikan yang telah berlangsung lama. "Pada masa program `Colombo Plan`, banyak terjadi pertukaran mahasiswa antarkedua negara. Saat itulah tersemai benih-benih hubungan antarbangsa yang semakin baik. Banyak mahasiswa Australia yang belajar di perguruan tinggi di Indonesia dan bahkan akhirnya menikah dengan orang Indonesia," katanya. Mereka itulah yan akhirnya sangat mencintai Indonesia dan memainkan peranan yang strategis dalam membangun dan memperkuat hubungan kedua bangsa, kata Agus Sartono. Namun kini terjadi ketimpangan jumlah mahasiswa Indonesia dan Australia yang belajar di masing-masing negara. Isu ini sempat disinggung Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo saat mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima kunjungan Perdana Menteri Australia Kevin Rudd di Jakarta Juni lalu, katanya. Menanggapi kenyataan itu, PM Kevin Rudd berjanji melakukan kebijakan untuk memoderasi ketidakseimbangan tersebut. Janji tersebut telah dipenuhi pihak Australia ditandai dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman (MoU) Kerja Sama Pendidikan dan Pelatihan kedua negara 10 November lalu untuk menggantikan MoU tahun 2003. Agus Sartono mengatakan, Australia adalah salah satu dari 32 negara yang menjadi tujuan 1.886 orang dosen perguruan tinggi negeri dan swasta penerima beasiswa Diknas RI untuk melanjutkan studi ke jenjang magister dan doktoral pada 2008. "Perlu diketahui bahwa dari jumlah itu, ada 262 orang dosen yang menempuh program gelar dan 148 orang dosen yang menempuh program `sandwich` di berbagai universitas di Australia," katanya. Terkait dengan isu beasiswa, Agus Sartono mengatakan, isu sesungguhnya adalah "bukan Depdiknas yang akan memberikan beasiswa untuk mahasiswa asing, tetapi justru Mendiknas mengangkat isu perlunya Australia melakukan penyeimbangan jumlah beasiswa". Mengutip ilustrasi Mendiknas Bambang Sudibyo, Agus Sartono mengatakan, jumlah penduduk Australia hanya sekitar 10 persen dari populasi penduduk Indonesia. Oleh karena itu, mestinya jumlah mahasiswa Australia yang belajar di Indonesia juga sekitar 10 persen dari mahasiswa Indonesia yang belajar di Australia. "Pemerintah Australia melalui berbagai skema beasiswa hanya menyediakan kurang dari 300 beasiswa per tahun bagi mahasiswa Indonesia untuk belajar di Australia. Mestinya julah beasiswa yang disediakan oleh pemerintah Australia harus naik paling tidak tiga hingga empat kali lipat." "Beasiswa pemerintah Australia tersebut sebaiknya sebagian untuk mahasiswa Indonesia yang belajar di Australia dan sebagian lagi digunakan untuk mengirim mahasiswa Australia guna belajar di berbagai universitas di Indonesia," katanya. Pengiriman mahasiswa Australia untuk belajar di Indonesia itu sekaligus sebagai realisasi dari program pertukaran mahasiswa sebagai salah satu poin dalam MoU. "Universitas di Indonesia juga akan mendapatkan manfaat dari keberadaan mahasiswa asing," katanya. Jika universitas-universitas di Australia mendapatkan manfaat besar dari kehadiran para mahasiswa asing yang sebagian besar adalah "full paying students" (bayar penuh), perguruan tinggi-perguruan tinggi di Indonesia juga menginginkan adanya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari kehadiran mahasiswa asing, katanya. "Keberadaan mahasiswa asing juga sedikit banyak akan mempercepat perubahan iklim akademik, memberikan kesempatan pada mahasiswa Indonesia untuk berinteraksi dengan mahasiswa asing, dan memberikan kontribusi positif terhadap PNBP universitas kita," kata Agus Sartono menambahkan.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008