Banda Aceh (ANTARA news) - Dewan Pers hingga saat ini masih terus mencoba mendalami tayangan televisi berbentuk reality show yang dinyatakan bermasalah karena dinilai melanggar batas privasi. "Saat ini kita sedang mencoba mendalami siaran reality show karena sudah masuk ke ranah privasi," kata Wakil Ketua Pokja Pengaduan Dewan Pers, Bekti Nugroho di Banda Aceh, Selasa. Hal itu disampaikannya dalam lokakarya dengan tema "bersama kita lawan kriminalisasi dan kekerasan terhadap jurnalis" yang dirangkai dengan Musda dan pelantikan pengurus IJTI Aceh. Menurut dia, Dewan Pers belum memutuskan tindakan yang akan diambil terkait tayangan-tayangan yang kini marak disiarkan ditelevisi. Selama Januari-Oktober 2008, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat telah menerima 38 pengaduan dan keberatan masyarakat atas tayangan reality show. Tayangan reality show tersebut berpotensi melanggar masalah privasi, kekerasan dan ucapan kotor. Sejumlah reality show yang dinilai sudah masuk keranah privasi di antaranya seperti Playboy Kabel, Backstreet (SCTV), Termehek-mehek (Trans TV), Face to Face, Cinta Patut Diuji (antv), Mata-mata (RCTI), dan tayangan sejenis lainnya. Namun, di antara tayangan tersebut KPI baru menemukan satu reality show, yaitu Face to Face (antv), yang melanggar UU Penyiaran dan Standar Program Siaran (SPS) terkait ucapan kotor dan KPI menegur pihak televisi pada 11 November lalu. Menurut KPI Pusat, tayangan tersebut telah melanggar Pasal 13 ayat 1 dan 2 di P3 dan SPS yang bunyinya lembaga penyiaran tidak boleh menyajikan penggunaan bahasa atau kata-kata makian yang mempunyai kecenderungan menghina/merendahkan martabat manusia, memiliki makna jorok/mesum/cabul/vulgar, serta menghina agama dan Tuhan. Pasal 13 ayat 2 berbunyi, kata-kata kasar dan makian yang dilarang disiarkan mencakup kata-kata dalam bahasa Indonesia, bahasa asing, dan bahasa daerah, baik yang diungkapkan secara verbal maupun verbal. Reality show tersebut dinilai membeberkan masalah pribadi orang lain secara detil berupa percintaan, perselingkuhan, konflik, dan tingkah negatif seseorang lalu dijadikan tontonan. "Tapi yang menjadi dilema tayangan-tayangan itu banyak diminati pemirsa," demikian Bekti.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008
Bahkan yang bertema religius juga cenderung pop tanpa memberi pesan moral yang berarti.
Tolong buatlah sinetron yang nasionalis, pluralis, bertema toleransi dan kedamaian. Bangsa ini lebih membutuhkannya dibandingkan produser membutuhkan duitnya.