Semarang (ANTARA News) - Media massa dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) dan pemilihan umum (pemilu) tidak bisa netral 100 persen meskipun media telah memberikan porsi yang sama kepada partai peserta pemilu dan calon.

"Secara subyektif tidak bisa netral 100 persen," kata Ketua Bidang Organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Sasongko Tedjo, dalam seminar "Pendidikan Politik Berbasis Jurnalistik" yang digelar Masyarakat Pemantau Pemilu (Mapilu), di Semarang, Selasa.

Sasongko mengatakan, tidak bisa netralnya media karena ada naluri jurnalistik yang berkembang sesuai alurnya seperti mengedepankan berita yang memiliki nilai berita yang disajikan dan ketokohan partai.

"Kalau partai gurem ketua umumnya tidak terkenal maka akan susah mendapatkan halaman yang sama dengan partai yang sudah besar," katanya.

Sasongko mengatakan, fungsi dan peranan media adalah memberikan informasi dan sosialisasi, memberikan pendidikan politik, mengawasi proses demokrasi, dan mewacanakan isu-isu strategi untuk perbaikan kualitas demokrasi.

Sikap media, lanjut Sasongko, seharusnya bersikap profesional yang mengacu pada kode etik jurnalistik, netral, independen, memberikan porsi, dan kesempatan sama kepada kontestan, berpegang pada undang-undang dan peraturan yang ada, serta mengutamakan fungsi pendidikan politik.

Menurut Sasongko, ada dua jenis media yakni media profesional dan media partisan. Tetapi tidak ada media yang terang-terangan mendukung partai peserta pemilu.

"Tidak ada media yang terang-terangan mendukung partai peserta pemilu. Media lebih memilih berada di wilayah abu-abu," katanya.

Sasongko melihat, tidak banyak media yang terang-terangan mendukung salah satu partai peserta pemilu dan lebih memilih menjadi media profesional, karena risikonya terlalu berat.

Sikap independen dan netral, tambah Sasongko, merupakan tantangan karena kenyataannya media massa dan wartawan akan menjadi ajang perebutan dari partai peserta pemilu. Oleh karena ia berharap agar media massa dan wartawan tetap bersikap profesional dan memegang teguh kode etik jurnalistik.

"Kalau sampai terjadi bias, maka peran media massa sebagai lembaga informasi, pendidikan, dan kontrol sosial akan terdistorsi dan membawa cacat demokrasi," demikian Sasongko.

Dalam kesempatan itu, hadir Koordinator Bidang Pengawasan dan Hubungan Antarlembaga Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Jateng Edi Pranoto dan akademisi dari Universitas Diponegoro Semarang yang juga mantan Ketua Umum Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jateng Fitriyah.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008