Ia memandang pemerintah perlu serius untuk menegakkan aturan terkait reklamasi pasca-tambang mengingat kejadian bencana alam yang akhir-akhir ini terjadi, salah satu faktor penyebabnya adalah ketidakpatuhan pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP) dalam melakukan pengelolaan lingkungan.
"Permasalahan kerusakan lingkungan pasca-tambang serta dampaknya terhadap bencana alam yang akhir-akhir ini terjadi telah mengakibatkan kerugian yang cukup besar bagi masyarakat dan negara secara keseluruhan," kata anggota bidang Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Alam Ombudsman RI dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa.
Laode menjelaskan lebih lanjut, sebagaimana temuan Ombudsman pada saat melakukan Own Motion Investigation tentang Pengawasan Terintegrasi Dalam Rangka Pencegahan dan Penertiban Tambang Ilegal, setidaknya ada lima hal penyebab terjadinya permasalahan pada reklamasi pasca-tambang, yaitu:
- Selama ini yang dianggap sebagai kewajiban hukum hanya sebatas pada penempatan dana jaminan reklamasi (jamrek) pasca-tambang, belum sampai pada pelaksanaan dan keberhasilan reklamasi pasca-tambang.
- Pengawasan pelaksanaan reklamasi pasca-tambang tidak optimal dilakukan aparat pemerintah, baik pusat maupun daerah. Selama ini, evaluasi hanya berdasarkan dokumen administrasi pada saat proses pembuatan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), sementara pemeriksaan lapangan tidak dilakukan secara rutin dengan alasan keterbatasan anggaran dan SDM.
- Adanya upaya pembiaran terhadap aktivitas pertambangan ilegal oleh aparat pemerintah dan penegak hukum.
- Tidak adanya koordinasi pengawasan kegiatan pertambangan terutama dalam hal reklamasi pasca-tambang.
- Penegakan sanksi yang lemah.
Permasalahannya adalah sejauh mana penegakan aturan tersebut dilakukan mengingat tata kelola penyelenggaraan urusan pertambangan khususnya pertambangan mineral dan batubara di Indonesia masih perlu banyak pembenahan sejak berlakunya regulasi tersebut sampai saat ini.
Salah satu permasalahan yang cukup serius adalah pelaksanaan kewajiban teknis dan lingkungan yaitu reklamasi pasca-tambang. Sedangkan pemerintah saat ini masih disibukkan dengan permasalahan pelaksanaan reklamasi yang dilakukan oleh pemilik izin maupun para penambang ilegal.
Reklamasi dan kegiatan pasca-tambang harus direncanakan dan dipersiapkan sejak awal sebelum sebuah kegiatan pertambangan dilaksanakan, bahkan sejak sebelum izin dari pemanfaatan Sumber Daya Alam diterbitkan oleh pemerintah sebagai pemegang hak pengelolaan (mining rights).
Namun yang menjadi pertanyaan adalah, apakah seluruh pemegang IUP telah menempatkan jaminan reklamasi pasca-tambang sebagaimana ketentuan bahwa dana tersebut merupakan prasyarat wajib yang harus dipenuhi sejak awal.
"Patut diduga, banyak perusahaan tambang yang belum memenuhi kewajiban penempatan jaminan reklamasi, namun masih bisa bebas beroperasi," kata Laode.
Selain itu, patut diteliti lebih mendalam, apakah seluruh pemegang IUP sudah menyampaikan pelaporan pelaksanaan reklamasi dan mengajukan pencairan jamrek untuk kegiatan tersebut pada setiap tahapannya baik eksplorasi maupun produksi.
"Lalu sejauh mana evaluasi dilakukan oleh instansi terhadap laporan pelaksanaan reklamasi pasca-tambang oleh perusahaan pemilik izin atau pihak ketiga," kata Laode.
Ia menambahkan, selama 10 tahun berlakunya UU Minerba, permasalahan tata kelola Izin Usaha Pertambangan (IUP) sebagai warisan kepemimpinan sebelumnya masih menjadi Pekerjaan Rumah (PR) besar bagi pemerintahan Presiden RI Jokowi Widodo (Jokowi).
Ombudsman RI sebagai Lembaga Negara yang melakukan pengawasan pelayanan publik telah menerima 97 laporan terkait dengan pertambangan dan Sumber Daya Alam pada tahun 2019. Dari laporan tersebut, yang paling sering adalah mengenai tata kelola perizinan pertambangan.
Selain permasalahan tumpang-tindih IUP dan birokrasi pelayanan perizinan yang rumit serta berbelit-belit, perubahan kebijakan menjadi 'momok' bagi investasi pertambangan di Indonesia.
Permasalahan pertambangan di Indonesia tidak hanya terjadi pada tahap perizinan tetapi juga pada tahap pelaksanaannya.
Selama ini, pemerintah masih belum optimal melakukan pengawasan kepada pemilik IUP/ IUP Khusus/ Kontrak Karya atau Perjanjian Kerja Pemerintah Republik Indonesia dan Perusahaan Berbadan hukum (PKP2B) terkait pelaksanaan kewajiban administrasi, teknis, lingkungan dan finansial.
Pembiaran terhadap aktivitas pertambangan ilegal menambah permasalahan reklamasi pasca-tambang. Keberadaan tambang yang ilegal mempersulit pemerintah mengontrol sejauh mana kerusakan lingkungan terjadi.
Tambang ilegal tidak memenuhi kewajiban penempatan dan pelaporan pelaksanaan reklamasi pasca-tambang. Hal ini semakin memperburuk kondisi lingkungan pasca-tambang.
Di satu sisi, tidak ada instansi yang merasa berwenang untuk melakukan pengawasan atas keberadaan tambang ilegal.
Penanganan yang parsial dan sektoral menjadi kendala penanganan masalah lingkungan pasca-tambang.
Instansi terkait seperti Kementerian ESDM terkesan tidak melakukan koordinasi yang intensif dengan instansi yang mengurus lingkungan.
Perizinan lingkungan terkesan sebagai pelengkap semata tanpa memperhatikan dampaknya di lapangan.
"Hal itu didukung pula oleh ketidaktegasan aparat dalam melakukan penindakan. Kita jarang mendengar perusahaan tambang yang dicabut IUP-nya atau dipidana pemiliknya karena melanggar ketentuan lingkungan dalam pertambangan terutama terkait reklamasi pasca-tambang," pungkas Laode.
Baca juga: Ombudsman minta instansi terkait tindak lanjuti temuan sidak
Baca juga: Ombudsman minta Pemkot Bekasi tangani sampah di sungai
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2020