"Bayi ini lahir di RSUD Pariaman pada 9 Desember 2019 dan hingga sekarang masih berada di inkubator ruang perinatologi," kata Direktur RSUD Pariaman dr. Indria Velutina di Pariaman, Senin.
Ia mengatakan penyebab rendahnya berat bayi tersebut yaitu karena lahir prematur yang dalam kandungan hanya 23 sampai 24 minggu padahal seharusnya 38 sampai 39 minggu.
Akibatnya kondisi bayi masuk ke dalam status berat bedan lahir amat sangat rendah sehingga harus dirawat intensif karena untuk berat bayi lahir normal di atas 2,5 kilogram.
"Awalnya orang tuanya cemas selain kondisi anak, juga karena biayanya yang besar dan tidak terdaftar di kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dari BPJS," katanya.
Ia menyampaikan untuk membantu orang tua bayi tersebut pihaknya menghubungi Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman agar mendapatkan Jaminan Persalinan serta Badan Amil Zakat RSUD Pariaman hingga klaim kepesertaan JKN-nya pertengahan bulan ini keluar.
Baca juga: Ada kecenderungan orangtua beri anak makanan pabrikan
Baca juga: RSUD Pariaman evakuasi pasien antisipasi dampak gempa
Baca juga: Pasien Gempa di RSUD Pariaman Mayoritas Lansia
Kepala Ruangan Perinatologi RSUD Pariaman Risda Zailinda mengatakan sebelumnya berat bayi yang paling rendah dirawat oleh pihaknya yaitu 900 gram.
"Ini merupakan bayi dengan berat terkecil yang kami rawat," ujarnya.
Ia menjelaskan di awal perawatan bayi tersebut harus menjalani puasa selama satu minggu karena perut kembung sehingga berat badannya turun menjadi 500 gram.
"Namun saat ini beratnya sudah mulai naik menjadi 780 gram karena diberikan susu khusus," kata dia.
Ia menyampaikan susu tersebut dibeli oleh orang tuanya di Padang dengan cara eceran seharga Rp20 ribu per saset dengan ukuran 0,71 gram.
"Pihak keluarga tidak mampu untuk membeli per kaleng yang harganya kisaran di atas Rp1 jutaan," ujar dia.
Padahal, susu tersebut dibutuhkan oleh bayi agar dapat mempercepat penambahan beratnya.
Apalagi kebutuhan susu untuk bayi tersebut semakin lama semakin banyak karena di awal pemberiannya dibutuhkan empat saset susu per hari dan sekarang menjadi enam saset.
"Pemberiannya kadang dicampur dengan air susu ibu dan kadang diselang-selingkan," katanya.
Sementara itu, ibu Nadiva Almaira, Nurleli (33) mengatakan ia hanya mampu membeli susu tersebut secara eceran karena harganya yang mahal apalagi pekerjaan suaminya hanya serabutan.
"Kerjaan suami saya kadang jadi petani, kadang dagang kerupuk. Jadi kami hanya mampu membeli susu 20 saset, kalau uang terkumpul dibeli lagi," katanya.
Ia mengatakan meskipun keluarga tersebut dalam kesulitan biaya, namun ia menyatakan enggan mengurus surat keterangan miskin.*
Pewarta: Altas Maulana
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020